GAGASAN
HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK
DAN
SEHAT DALAM UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh:
Sodikin, S.H.,M.H., M.Si.
Abstrak
Melalui
reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 mengakibatkan UUD 1945 harus
diamandemen. Amandemen UUD 1945 adalah sesuatu yang wajar untuk mulai
mereformasi semua kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Gagasan hak
atas lingkungan yang baik dan sehat muncul pada saat amandemen UUD 1945 yang
kedua. Perlunya hak atas lingkungan baik dan sehat dalam ketentuan UUD 1945
adalah juga sesuatu yang wajar, karena perkembangan kehidupan yang
mengakibatkan rusak dan tercemarnya lingkungan hidup. Lingkungan hidup perlu
dilindungi dari kerusakan dan pencemaran, dengan perlindungan terhadap
lingkungan hidup berarti juga perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Abstract
Through reforms that began in 1998 resulted in the 1945 Constitution
should be amended. The 1945 amendment is something that is natural to begin
reform of all life as a nation, state and society. The idea of the right to a
good and healthy environment emerged as the second amendment to the 1945
Constitution. The need for the right to good and healthy environment in terms
of the 1945 Constitution is also something that is reasonable, because the
development of life lead to damage and contamination of the environment.
Environment needs to be protected from damage and pollution, the protection of
the environment is also the protection of human rights.
A. Pendahuluan
Euforia reformasi yang dimulai tahun 1998 merupakan tonggak awal dalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat untuk mengadakan perubahan
secara mendasar. Melalui reformasi sesungguhnya membawa harapan baru bagi
perkembangan demokrasi dan pelaksanaan hak asasi manusia. Demokrasi dan hak
asasi manusia mendapatkan porsi yang pertama dalam reformasi. Untuk mewujudkan
harapan baru tersebut, maka perubahan yang sangat mendasar adalah amandemen UUD
1945 itu sendiri. Hal ini, karena dengan diamandemennya UUD 1945, dengan sendirinya
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat akan berubah. Amandemen UUD
1945 adalah harga mati, sebab tanpa melalui amandemen UUD 1945, maka mustahil
reformasi akan terwujud. Reformasi melalui amandemen UUD 1945, dapat mewujudkan
demokrasi dan pelaksanaan hak asasi manusia. Hasil amandemen menempatkan
demokrasi dan hak asasi manusia, sebagai perwujudan dalam kehidupan berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat. Dua masalah ini merupakan masalah yang
diagung-agungkan semenjak orde baru runtuh tahun 1998. Menguatnya demokrasi dan
hak asasi manusia sekarang ini dipahami sebagai kebebasan yang bebas dari
belenggu kekuasaan yang sangat terikat.
Perkembangan berikutnya dari masalah hak asasi manusia sekarang ini
dipahami sebagai kebebasan untuk berbuat apa saja, semua orang mengatasnamakan
HAM. Orang dapat bertindak atau berbuat seenaknya dengan mengatasnamakan HAM,
begitu juga dengan demokrasi. Perlu diketahui bahwa dalam UUD 1945 hasil
amandemen menempatkan porsi hak asasi manusia dalam beberapa pasal UUD 1945.
Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen tidak menempatkan pasal-pasal
mengenai hak asasi manusia secara jelas.
Salah satu masalah hak asasi manusia adalah hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak setiap
orang untuk mendapatkan lingkungan hidup dengan segala ekosistemnya.
Permasalahannya sekarang ini adalah lingkungan hidup sudah mulai rusak dan
dirusak oleh manusia. Kerusakan lingkungan hidup sudah di luar batas kerusakan
lingkungan hidup. Rusaknya lingkungan hidup menyebabkan gangguan kesehatan,
polusi udara, yang pada akhirnya kerusakan lingkungan hidup itu juga melanggar
hak asasi manusia. Karena manusia berhak atas lingkungan yang sehat, bebas dari
polusi dan lain-lainnya. Hak asasi manusi dan lingkungan hidup memiliki
ketergantungan satu sama lain. Suatu negara harus dapat memberikan pengaturan
perlindungan terhadap
lingkungan hidup agar dapat sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama
yang berkaitan dengan masalah hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan yang
lainnya. Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia adalah juga
salah satu cara yang paling efektif untuk melindungi lingkungan hidup.
Oleh karena itu, permasalahan adalah bagaimana ide atau gagasan hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat itu ke dalam konstitusi Indonesia (UUD
1945 hasil amandemen). Permasalahan hak asasi manusia yang begitu menguat pada
era reformasi ini menunjukkan bahwa masalah hak asasi manusia adalah masalah
kemanusiaan yang perlu ada aturannya yang tegas. Gagasan hak atas lingkungan
hidup tidak serta merta merupakan masalah lingkungan hidup saja yang signifikan
masuk dalam amandemen UUD 1945, tetapi masalah lingkungan hidup menjadi bagian
dari masalah hak asasi manusia. ”Karena itu, muncul pemikiran untuk menaikkan
derajat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat Undang-Undang Dasar”[1]).
Secara eksplisit para perumus amandemen UUD 1945 menempatkan lingkungan hidup
itu adalah bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, apa yang sebenarnya
hak asasi manusia dan lingkungan hidup itu, dan bagaimana hubungan keduanya
serta bagaimana gagasan hak asasi manusia itu dalam amandemen UUD 1945.
B. Pemahaman Hak Asasi Manusia dan
Lingkungan Hidup
Masalah hak asasi manusia sebenarnya sudah lama dibicarakan
dan dipermasalahkan yaitu sejak adanya umat manusia itu sendiri. Munculnya hak asasi manusia
bersamaan dengan lahirnya umat manusia itu sendiri, atau lahirnya hak asasi
manusia bersamaan dengan lahirnya umat manusia. Sepanjang sejarah
kehidupan umat manusia, yaitu sejak umat manusia mengenal pergaulan telah
tercatat banyak kejadian bahwa seseorang atau segolongan orang mengadakan
perlawanan terhadap golongan lain atau penguasaan untuk memperjuangkan apa yang
dianggap menjadi haknya. Perlawanan itu timbul apabila terjadi tindakan atau
perbuatan pihak lain (biasanya penguasa) yang dianggap menyinggung perasaan,
menghambat kebebasan maupun merendahkan martabat (dignity) seseorang.
Tindakan atau perbuatan
tersebut dapat terjadi dalam pergaulan hidup, sebab tanpa berhubungan
antara seseorang dengan lainnya, maka manusia tidak akan dapat mengembangkan
cita, rasa dan karsanya sebagaimana yang telah menjadi fitrah manusia. Oleh
karena itu, hak asasi manusia yang dikenal sekarang ini, baik yang telah
dicantumkan dalam piagam-piagam tertentu atau dalam pasal-pasal Undang-undang
Dasar suatu negara maupun yang dirumuskan dalam undang-undang, sudah
diperjuangkan sejak timbulnya kelompok penguasa seperti raja-raja,
kepala-kepala suku dan sebagainya. Sejarah perkembangan umat manusia terus
berjalan, apa yang dianggap merupakan hak-hak dasar manusia juga bertambah.
Sejak abad ke-13 apa yang diasumsikan sebagai hak-hak dasar manusia mulai
diperjuangkan secara gigih dan terorganisir. Perjuangan akan hak asasi manusia
terus bergerak hingga saat ini, dan substansi hak asasi manusia terus
berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia itu sendiri.
Oleh karena pentingnya hak asasi manusia dalam kehidupan umat manusia, maka
keberadaan hak asasi manusia tercantum dalam piagam-piagam, Undang-Undang Dasar
dan Undang-Undang. Hal ini sama juga terhadap hak asasi manusia di Indonesia
yang secara ekplisit tercantum melalui pasal-pasalnya dalam Undang-Undang
Dasar, di samping juga Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai hak
asasi manusia. Sekadar pemahaman hak asasi manusia, maka dijelaskan pengertian
hak asasi manusia oleh para pakar hukum maupun politik.
Pengertian hak asasi
manusia berasal dari terjemahan bahasa Perancis dikenal droit de l’homme
(hak manusia), dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah human rights,
bahasa Belanda dikenal dengan menselijke rechten.
Secara harfiah yang
dimaksud dengan hak asasi manusia adalah hak pokok atau hak dasar[2].
Dalam arti harfiah ini, maka hak asasi manusia merupakan hak yang bersifat
fundamental, sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan, tidak dapat
diganggu gugat, bahkan harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari
segala macam ancaman, hambatan dan ganggugan dari manusia lainnya.
Hak asasi manusia adalah
hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dipisahkan dari hakikat
dan karena itu bersifat suci[3].
Menurut Miriam Budiardjo, hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang dimiliki
manusia yang telah diperolehnya dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat[4].
Karena merupakan hak yang pokok, hak asasi manusia ini merupakan sesuatu yang
dengan sendirinya mengawasi kehidupan manusia dan bukan pemberian dari
masyarakat. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat St. Harum Pujiarto yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang awal, bukan
sesuatu pemberian dari masyarakat atau negara, hak itu adalah hak hidup dengan
segala kebebasannya untuk menyatakan cipta, karsa dan rasa dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya[5].
Bambang Sunggono dan
Aries Harianto berpendapat, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan
berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya
sebagai manusia[6]. Dalam
hal ini Bambang dan Aries sependapat, jika hak asasi manusia dikatakan sebagai
hak asasi yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Jadi, bukan merupakan
hak yang diberikan oleh masyarakat.
Marbangun Hardjowirogo
merumuskan tentang hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang memungkinkan kita
untuk tanpa diganggu menjalankan hidup bermasyarakat dan bernegara sebagai
warga dari suatu kehidupan bersama[7].
Djoko Rahardjo merumuskan hak asasi manusia adalah suatu konsepsi mengenai
pengakuan atau harkat dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah yang
melekat pada setiap manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis
kelamin[8].
Oleh karena itu, harkat dan martabat yang dimiliki manusia secara alamiah dan melekat
pada setiap manusia tanpa perbedaan apapun dapat dikatakan sebagai hak asasi
manusia.
Oleh karena itu, hak
asasi manusia merupakan hak yang melekat dalam diri manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya, baik sejak dalam kandungan maupun setelah dilahirkan ke
dunia, tanpa memandang berbagai jenis perbedaan yang terkait dengan segala
aspek kehidupan manusia. Konsep dan substansi dari hak asasi manusia itu
sendiri terus berkembang, sesuai dengan harkat dan martabat manusia dalam
kehidupannya. Salah satu hak asasi manusia dalam kajian ini adalah hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang pada akhirnya tercantum dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian,
lingkungan hidup menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup
adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati
yang mempengaruhi kehidupan kita[9]).
Selanjutnya Munadjat Danusaputro, menyatakan bahwa lingkungan hidup sebagai
semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya,
yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup dan
kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya[10]).
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: ”Lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut, maka lingkungan hidup
merupakan satu kesatuan ekologi yang juga merupakan suatu daur kehidupan (recyling)
atau suatu ekosistem dimana manusia ada di dalamnya. Ekosistem yang
merupakan suatu hubungan timbal balik antara berbagai komponen lingkungan untuk
mendukung keberlanjutan lingkungan hidup atau ekologi itu sendiri. Dalam hubungan yang timbal balik
ini, diperlukan adanya keseimbangan dan keselarasan ekologi, yaitu suatu
keadaan bahwa makhluk hidup ada dalam hubungan yang harmonis dengan
lingkungannya, sehingga terjadi keseimbangan dan keselarasan interaksi antar
makhluk hidup dan lingkungannya. Dari semua makhluk hidup, manusialah yang
paling mampu untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Apabila manusia tidak
mampu dalam menjaga dan melindungi lingkungan, maka terjadilah pencemaran,
perusakan dan kerusakan lingkungan. Pencemaran, perusakan dan kerusakan itulah
yang menjadi masalah bagi hidup dan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu,
komponen lingkungan hidup yang namanya manusia yang dapat melakukan tindakan
pencemaran, perusakan dan kerusakan lingkungan hidup.
C.
Hubungan
Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup
Hak asasi manusia dan lingkungan hidup memiliki ketergantungan satu sama
lain. Negara dapat memberikan pengaturan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang juga
sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan masalah
hak untuk hidup, hak atas kesehatan, gangguan atas hak milik sampai dengan
pemberian perlindungan bagi masyarakat pedalaman. Dengan demikian, lingkungan
hidup dan hak asasi manusia adalah dua hal yang saling berhubungan dan dapat
saling memperkuat di antara keduanya. Mengakui hak asasi manusia berarti juga
melindungi lingkungan hidup dan sekaligus dapat digunakan untuk mencapai
pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) sebagai
salah satu tujuan pembangunan Indonesia. Hal ini, karena dengan mengakui dan
melindungi hak asasi manusia adalah cara yang potensial untuk melindungi
lingkungan hidup.
Berbagai masalah lingkungan hidup kemudian muncul sebagai akibat dari
keinginan manusia untuk
terus berkembang dan membangun kehidupan yang lebih baik. Dalam kerangka hak
asasi manusia, keinginan tersebut didasarkan pada hak atas pembangunan (the right to development). Pembangunan
yang dilakukan oleh manusia banyak melupakan lingkungan hidup. Pembangunan selalu
terkait dengan masalah ekosistem yang merupakan suatu daur kehidupan yaitu manusia
dan lingkungannya memiliki hubungan satu sama lain. Misalnya, dalam hal untuk
mendapatkan percepatan dalam dalam bidang pangan, yaitu di bidang pertanian
maka digunakanlah pestisida yang berfungsi untuk memusnahkan hama tanaman.
Padahal pestisida akan membunuh semua spesies dan manusia lupa bahwa pada
dasarnya spesies juga memiliki ketahanan untuk hidup, dan lama kelamaan penggunaan
pestisida justru berakibat buruk pada kesehatan manusia.
Dalam kasus yang lain, pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, seringkali terjadi kerusakan lingkungan hidup.
Misalnya masyarakat yang hidup di sekitar pertambangan PT. Freeport, mereka
harus berhadapan dengan aparat keamanan (yang menggunakan kekuatan bersenjata)
dalam memanfaatkan sumber daya alam, seperti kayu, emas, dan minyak mentah (crude oil). Sumber daya alam tersebut dieksploitasi
oleh pendatang (PT. Freeport) yang berakibat merusak lingkungan hidup setempat,
di lain pihak masyarakat setempat yang sudah turun temurun berdiam dan
sekaligus menggunakan wilayah yang sama sebagai sumber penghidupan akhirnya
kehilangan mata pencahariannya. Akibat dari pertentangan ini, banyak penduduk
setempat yang menjadi korban aparat keamanan yang banyak membantu para
pengusaha untuk mencapai apa yang diinginkan. Protes pun dilakukan oleh warga masyarakat
yang tinggal di sekitar PT. Freeport tersebut yang menuntut keadilan (yaitu hak
atas tanah yang secara turun temurun telah dikuasai oleh mereka). Banyak penduduk
kemudian diintimidasi, ditahan, disiksa bahkan dibunuh oleh pihak keamanan karena
penduduk dianggap sebagai pemberontak. Begitu juga dalam kasus sengketa lahan
antara masyarakat penduduk asli dengan perusahaan (baik perusahaan pertambangan
maupun perusahaan pertanian). Masalah lain juga muncul yaitu limbah dari
penambangan emas dapat mengakibatkan tercemar dan/atau kerusakan sungai dan
danau sehingga masyarakat pengguna sungai atau danau tidak dapat memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Selanjutnya bagi masyarakat pedalaman (local community) setempat, bahwa tanah, sungai
dan danau adalah sumber kehidupan yang sangat dihargai bagaikan ibu kandung mereka
sendiri, yang tidak boleh dirusak.
Selanjutnya apa yang
terjadi kemudian, hak manusia untuk mendapatkan kehidupan dan lingkungan yang baik
dan sehat (the right to healthy
environment) menjadi dilanggar. Pelanggaran yang demikian akan terus
terjadi, apabila perlindungan terhadap lingkungan hidup tidak dilakukan, dan justru
akan dapat mengakhiri pemenuhan standar hak asasi manusia itu sendiri. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia
adalah salah satu cara yang efektif untuk melindungi lingkungan hidup.
D. Perlindungan Hak Asasi Manusia dan
Lingkungan Hidup
Ketentuan mengenai
perlindungan hak asasi manusia (human
rights) secara internasional diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948 (Piagam PBB) yang salah
satu tujuannya dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan: promoting and encouraging
respect for human rights and for fundamental freedoms for all without
distinction as to race, sex, language, or religion. Ketentuan tersebut
sebenarnya bukan mengatur secara khusus masalah hak atas lingkungan hidup,
tetapi mengatur masalah hak asasi manusia secara umum.
Tujuan yang terdapat
dalam Pasal 1 ayat (3) Piagam PBB diperkuat
lagi melalui Piagam ECOSOC (The Charter
of the Economis and Social Council). Pasal
62 ayat 2 ECOSOC menyatakan: recommendations for the purpose of
promoting respect for, and observance of human rights and fundamental freedom
for all. Deklarasi ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya International Covenant on Civil and
Practical Right yang selanjutnya dikenal dengan ICCPR dan International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rigths yang disebut dengan ICESCR melalui Resolusi Majelis
umum PBB No. 2000 A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966.
Berbagai pengaturan mengenai HAM tersebut tidak secara eksplisit membahas masalah
perlindungan lingkungan hidup. Akan tetapi
apabila diperhatikan ada beberapa hak asasi yang berkaitan erat dengan masalah
lingkungan hidup terutama hak yang terkait dengan generasi ketiga HAM yaitu solidarity
rights. Hak ini termasuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih (right
to a clean environment)[11]. Hak
ini dapat dibagi lagi menjadi hak untuk hidup, hak mendapat kehidupan yang baik
dan sehat, hak untuk mendapatkan kesehatan serta hak untuk mendapatkan
kebebasan atas harta benda, dan juga perlindungan terhadap indigenous people/local
community[12].
1.
Hak
untuk Hidup (The Right to Life)
Hak untuk hidup adalah
hak yang paling dasar, karena itu tidak dapat diganggu akibat kerusakan atau
tercemarnya lingkungan hidup yang berakibat matinya manusia. Kejadian yang
sangat dasyat akibat pelanggaran hak untuk hidup adalah ketika terjadi ledakan
reaktor nuklir di Chernobyl Rusia dan di Bhopal India yang mengakibatkan ribuan
orang meninggal dan menderita cacat seumur hidup akibat radiasi nuklir tersebut.
Pasal 6 ayat (1) ICCPR mengakui adanya hak untuk hidup, yaitu every human
being has the inherent rights to life, …no one shall be arbitrarily deprived of
his life.
Jadi, setiap orang
berhak untuk hidup dan tidak ada seorang pun dan juga negara dapat sewenang-wenang
menghentikan kehidupan seseorang. Negara harus melakukan berbagai tindakan atau
paling tidak, tidak boleh lalai untuk melindungi kehidupan manusia. Jadi, kerusakan
atau tercemaranya lingkungan hidup dapat berakibat matinya orang, sehingga di
sini negara tidak boleh lalai untuk
melindungi kehidupan manusia dari kerusakan dan pencemaran lingkungan seperti
yang telah terjadi di berbagai belahan bumi akibat industri atau polusi dari
berbagai sumber maupun radiasi raktor nuklir.
2.
Hak atas Lingkungan yang Sehat (The Right to Healthy
Environment)
Sebenarnya tidak ada dokumen
HAM maupun Konstitusi Negara-negara yang menentukan dengan tegas mengenai hak atas
lingkungan yang sehat (healthy
environment). Hal ini, meskipun tidak ada yang secara tegas mengatakan healthy
environment, tetapi setidaknya terdapat hak untuk mendapat kondisi kerja
yang sehat atau untuk mendapatkan kehidupan yang adequate for the health
pada lingkungan kerja. Jadi, hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak
untuk mendapatkan kehidupan yang sehat. Untuk mendapatkan kehidupan yang sehat
tentu saja harus dengan menjaga lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran.
Ketentuan ini terdapat dalam ICESCR Pasal 7 butir b menyatakan pengakuan akan
hak setiap orang mendapatkan kondisi kerja yang sehat (…the right of
everyone to enjoyment of just and favourable conditions of work …(a), …(b) safe
and health conditions; …). Kondisi sehat tidak hanya didapatkan di rumah
tetapi juga dalam tempat kerja, maka setiap orang berhak untuk mendapatkan kondisi
lingkungan yang sehat di tempat kerja. Jadi, kunci untuk memenuhi hak ini
adalah perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dengan perlindungan terhadap
lingkungan hidup, pada akhirnya manusia juga akan menikmati lingkungan yang
bersih, bebas dari polusi, baik pada lingkungan kerja maupun lingkungan rumah.
3.
Hak atas Kesehatan (The Right to Healthy)
Hak atas kesehatan
berarti setiap orang berhak atas kesehatan baik fisik maun mental. Hak atas
kesehatan tidak lepas dari lingkungan yang sehat, sebab tanpa lingkungan yang
sehat tidak mungkin kesehatan terjamin. Hal ini berarti negara harus menjamin
perlindungan kesehatan setiap warganya. Pasal 12 ICESCR memberi penegasan bahwa:
the state parties to the present Covenant recognize the right to everyone to
the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental healthy.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan baik
fisik maun mental, dan negara menjamin kehidupan lingkungan yang baik dan
sehat. Lingkungan hidup harus terhindar dari polusi dan pencemaran. Pasal 6
Deklarasi Stockholm mengatur bahwa negara harus mendukung segala tindakan untuk
mengurangi polusi[13].
Hal ini dimaksudkan agar kesehatan manusia tetap terjaga karena polusi
mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Sebagai contoh penyakit
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang banyak terjadi di daerah yang polusi udaranya sangat tinggi, seperti
wilayah yang diselimuti asap karena kebakaran hutan, pencemaran udara akibat
asap pabrik atau kendaraan bermotor atau juga pada masyarakat yang menggunakan
air sungai yang sudah tercemar mengakibatkan gatal-gatal kulit. Di sinilah
peran negara untuk melindungi lingkungan dari bahaya pencemaran dan polusi
udara yang membahayakan kesehatan masyarakat.
4.
Hak untuk Bebas dari Segala Gangguan atas Harta
Benda (The Right to be Free Interference of One’s Home and Property)
Pasal 17 ICCPR mengatur hak untuk bebas dari segala gangguan atas harta
benda:
(1)
No
one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy,
family, home or…
(2)
Everyone
has the right to the protection of the law against such interference…
Pasal 17 ICCPR terdapat
kata interference dan yang dimaksud
dengan interference adalah gangguan maksudnya gangguan lingkungan,
seperti gangguan kebisingan dari mesin pabrik, atau banjir dari sebuah
bendungan yang jebol (banjir sebagai akibat dari jebolnya tanggul situ Gintung
di Tangerang Selatan Banten yang menghayutkan harta benda dan juga menewaskan
warga sekitarnya), dan perubahan cuaca akibat aktivitas pusat tenaga nuklir
(PLTN) yang secara nyata mempengaruhi kehidupan masyarakat, atau juga perusakan
lingkungan akibat pengeboran gas yang menyebabkan semburan lumpur panas di
Sidoarjo (harta benda masyarakat di sekitarnya terendam oleh lumpur panas). Artinya
gangguan (interference) ini
dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.
5.
Perlindungan Terhadap Indigenous People
Konvensi ILO No. 169 tahun
1989 menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Indigenous People/tribal
people adalah: tribal peoples in independent countries whose social,
cultural and economic conditions distinguish the from other sections of the
national community, and whose status is regulated wholly or partially by their
own customs or traditions or by special laws or regulations.
Pengertian menurut Konvensi ILO No. 169 tahun 1989, berarti Indigenous People adalah sekelompok etnis/bangsa yang
berdiam di suatu negara, tetapi secara sosial, ekonomi, dan kebudayaannya
berbeda dengan masyarakat di wilayah lain, dan dalam kehidupan sehari-harinya
mereka menggunakan adat istiadatnya sendiri serta memiliki ciri tersendiri yang
dalam Konevsni ILO disebut sebagai self identification. Kelompok Indigenous People atau
bangsa asli ini juga merupakan kelompok yang secara turun temurun ada di
wilayah tersebut, bukan kelompok yang mendominasi secara nasional, ada
perbedaan baik sosial ekonomi maupun kebudayaan dengan masyarakat lain dalam
satu negara, dari sudut bahasa, ras, kebudayaan spiritual berbeda, dan pemerintah memperlakukan mereka dengan
berbagai kebijakan dan peraturan. Sebagai contoh masyarakat Baduy di Banten
Selatan, beberapa etnis di Papua dan Papua Barat, beberapa etnis di Kalimantan,
dan suku-suku lainnya di Indonesia yang mempunyai karakteristik tersendiri.
Beberapa hak yang
dimiliki indigenous peoples adalah:
1.
berhak
atas tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya;
2.
berhak
untuk menjaga kehidupan tradisinya termasuk mendapatkan jaminan untuk itu;
3.
berhak
untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai tindakan yang merusak dan
menurunkan kualitas tempat dimana mereka hidup[14].
Konvensi ILO 169 juga mengatur hak indigenous
peoples yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, yaitu:
a.
Indigenous
People berhak untuk
mendapatkan perbaikan kondisi kehidupan dan tempat kerja serta juga berhak
untuk mendapatkan peningkatan terhadap kesehatan mereka. Untuk itu pemerintah
(tempat mereka berada) harus melindungi dan melakukan berbagai tindakan
preventif untuk menjaga lingkungan hidup tempat mereka berdiam[15].
b.
Mereka
berhak untuk memanfaatkan, mengatur serta mengkonservasi sumber daya alam yang
berada di tempat kediaman mereka dan mereka butuhkan. Apabila wilayah mereka
akan dieksploitasi dan dieksplorasi, mereka harus diajak berunding untuk resettlement
serta mereka juga harus menikmati keuntungan hasil kegiatan tersebut[16].
c.
Mereka
berhak atas tempat kerja yang tidak membahayakan kesehatan mereka, terutama
dari pengaruh pestisida maupun bahan beracun lainnya[17].
Oleh karena itu, ada
keterkaitan langsung antara perlindungan hak asasi manusia terhadap indigenous
peoples dan lingkungan hidup. Hal ini, karena berbagai sumber daya alam
yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia justru banyak terdapat di tempat
kediaman kelompok yang masuk kategori indigenous peoples. Banyak terjadi
konflik antara para pengelola sumber daya alam dengan penduduk setempat yang
juga sama-sama membutuhkan sumber daya alam tersebut, namun dengan kepentingan
yang berbeda. Bagi indigenous peoples atau local community, sumber daya alam hanya dibutuhkan untuk kebutuhan
hidup mereka sehari-hari, sedangkan bagi pendatang sumber daya alam dijadikan
bahan komoditi yang punya nilai tinggi dan para pendatang mengeksploitasi sumber
daya alam. Contoh yang terjadi di Mimika Papua, yaitu antara suku Amungme dan
Kamoro dengan PT. Freeport yang dibantu aparat keamanan, atau juga di
Kalimantan Tengah terjadi konflik antara perusahaan kehutanan/perkebunan dengan
masyarakat asli Dayak Kalimantan dalam memperebutkan lahan hutan.
E.
Perumusan Hak Asasi Manusia dan Lingkungan
Hidup Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Gagasan memuat hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar sebenarnya sudah
diperdebatkan pada saat founding father
merumuskan UUD sebagai dasar negara, yang salah satunya tentang perlu tidaknya
pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD. Hal ini terlihat perdebatan
antara Soekarno dan Soepomo dengan M. Hatta dan M. Yamin pada saat Rapat BPUPKI
yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 1945[18].
Pada akhirnya pada 16 Juli 1945 perdebatan dalam BPUPKI menghasilkan kompromi
sehingga diterima beberapa ketentuan dalam UUD[19].
Salah satu hasil kompromi adalah mencatumkan beberapa pasal tentang HAM.
Dalam perjalanan sejarah, setelah Indonesia berbentuk negara Serikat, maka
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950[20],
yang berlaku selama sekitar 10 tahun (1949 – 1959), justru memuat pasal-pasal
tentang HAM yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan dengan UUD 1945,
bahkan bisa dikatakan bahwa kedua UUD tersebut mendasarkan ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan HAM-nya Pernyataan Umum tentang HAM PBB (Universal Declaration of Human Rights)
yang mulai berlaku pada tanggal 10 Desember 1948[21].
UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang memang
bersifat singkat dan supel, sehinggal masalah HAM yang di ada di dalamnya tidak
banyak, termasuk hak atas lingkungan baik dan sehat tidak ditemukan dalam UUD
1945. Berbeda halnya dengan dua Konstitusi yaitu Konstitusi RIS dan UUDS 1950
yang memuat lebih banyak tentang HAM, termasuk di dalamnya dimuat juga masalah
hak atas lingkungan hidup.
Dalam perjalanan sejarah kehidupan kenegaraan berikutnya, yaitu era
reformasi dengan menguatnya hak asasi manusia dan melalui amandemen UUD 1945,
masalah hak asasi manusia mendapatkan porsi yang pertama selain demokratisasi. Pada
akhirnya amandemen UUD 1945 dilaksanakan juga yang terbagi dalam empat kali
amandemen. Amandemen yang pertama tahun 1999, kemudian kedua tahun 2000, ketiga
tahun2001 dan keempat tahun 2002.
Pembahasan mengenai masalah HAM sudah disinggung dalam Rapat PAH PAH III BP
MPR RI ke-2. Rapat yang diketuai M. Amien Rais mengusung agenda Pemandangan
Umum Fraksi tentang materi Sidang Umum MPR sesuai Bidang Tugas PAH BP MPR.
Dalam Pemandangan Umum Fraksi tentang Materi Sidang Umum, Vincent Radja dari
F-KKI menyinggung masalah HAM agar dipertegas secara detail dalam UUD 1945[22].
Perubahan UUD 1945 mengenai HAM dalam pembahasan PAH III BPR MPR Tahun 1999.
Jadi, amandemen UUD 1945 mengenai HAM pada tahun 1999.
Menurut Vincent Radja dari F-KKI:
... masalah-masalah
HAM perlu dipertegas secara detail dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga
bangsa Indonesia yang mempunyai dasar filosofi Pancasila dapat lebih beradab[23].
Selanjutnya, Asnawi Latief dari F-PDU menyampaikan pandangan umum fraksinya
mengenai masalah HAM.
... yang
kesembilan, perluasan HAM. Sebab apa yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 kita sangat sumir terhadap Declaration
of Human Rights. Kita sadari memang HAM itu lahir sesudah Republik ini
lahir[24].
Fraksi-fraksi yang lain juga sama menyampaikan pandangan umum tentang
perubahan pasal hak asasi manusia, termasuk perlunya ketentuan yang lebih rinci
mengenai hak asasi manusia. Begitu juga dalam rapat ketiga PAH I BP MPR yang
dilaksanakan pada 6 Desember 1999 yang diketuai oleh Jakob Tobing, bahwa
tiap-tiap fraksi melalui juru bicaranya membacakan kata pengantar dan pandangan
umum yang terkait dengan masalah hak asasi manusia. Pada umumnya fraksi-fraksi
memberikan pernyataan tentang perubahan pasal hak asasi manusia, pemahaman hak
asasi manusia dan perlunya hak asasi manusia itu diatur lebih rinci dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
Pada masa sidang berikutnya, yaitu rapat PAH I BP MPR yang ke-17 mengundang
kelompok profesional yaitu Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Kamar
Dagang Indonesia (Kadin), dan juga diundang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBI) dan Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Salah
seorang perwakilan ISEI, Ichsan Tanjung menjelaskan pengaruh demokrasi dan hak
asasi terhadap ekonomi, yaitu:
...
perkembangan berikutnya yang luar biasa di dalam masalah demokrasi dan HAM ini
juga mempengaruhi ekonomi. Misalnya saja mana mungkin hal-hal ini timbul kalau
negara itu yang menguasai ekonomi. Karena negara itu lebih kurang sama dengan
kekuasaan. Dan negara kalau dengan kuasanya luar biasa mengatur ekonomi maka
HAM dengan demokrasinya ini pasti akan ya katakanlah dipengaruhi di sana sini,
sesuai dengan maksud yang berkuasa.
Dalam ekonomi kita mengalami hal yang luas biasa...[25].
Selain itu, ia memberi contoh isu lingkungan yang berkembang di Indonesia.
Kita mendengar
bagaimana hasil-hasil hutan kita juga akan terkena hal semacam itu. Jadi, akan
ada ecolabelling di negara-negara Eropa semacam itu. Dan jangan kaget kalau
produksi kita akan dipertanyakan berdasakan input-input yang disampaikan oleh
LSM di sini ke luar negeri bahwa itu diproduksi secara melanggar HAM entah
upahnya, entah fasilitas ini itu, kesehatan, wanita hamil masih dipekerjakan.
Saya kira contoh-contohnya akan semakin banyak.
Jadi, yang kami
mau garis bawahi di sini bahwa Bapak Ibu sekalian ekonomi pun tidak bisa lepas
dari HAM dan demokrasi. Itu juga satu alasan mengapa kita memandang ada yang
tidak benar, kalau itu dipercayakan pada penyelenggara negara yang sangat
berkuasa dan bisa memainkan banyak hal. Jadi, diserahkan kepada swasta tetapi
dengan asumsi dasar hukum harus berlaku, dan dalam rangka memberlakukan hukum
ini kita jangan keder dengan LSM, banyak fungsinya mereka itu[26].
Hendardi dari PBHI dalam kesempatan yang lain memberikan pandangan,
terutama mengenai pentingnya pasal-pasal yang mengatur hak asasi manusia masuk
dalam Undang-Undang Dasar.
...Konstitusi
Republik Indonesia harus ditata dan dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi
sumber hukum bagi kedaulatan rakyat atas negara.
Masalah kedua
adalah tentang tujuan diselenggarakan negara. Konstitusi RI harus dengan jelas
merumuskan apa gerangan yang menjadi tujuan tertinggi negara RI. Posisi kami
dalam hal ini adalah negara adalahs ekadar sebuah organisasi kuasa yang
dibentuk untuk melayani dan memenuhi kepentingan serta hak-hak warga. Karena
Indonesia adalahs ebuah negeri yang didiami oleh masyarakat yang sangat
majemuk. Maka penyelenggaraan demokrasi haruslah menjadi tujuan penyelenggaraan
negara...
PBHI
merekomendasikan paling kurang konstitusi RI harus mendefinisikan secara rinci
dan menjamin secara eksplisit hak-hak dasar warga negara berikut ini:
1.
Perlindungan terhadap kebebasan pribadi;
2.
Jaminan atas Kebebasan pribadi;
3.
Kesetaraan dihadapan hukum;
4.
Kebebasan berkeyakinan agama hati nurani dan kepercayaan;
5.
Kebebasan mengeluarkan pendapat;
6.
Kebebasan berkumpul dan beriserikat;
7.
Hak atas domisili dan kebebasan berpindah tempat;
8.
Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak; serta
9.
Hak atas property dan warisan[27].
Dalam rapat PAH I BP MPR-Ri ke-42, tanggal 12 Juni 2000 yang diketuai Jakob
Tobing, diagendakan pembahasan rumusan Bab X mengenai Warga Negara. Pembahasan
mengenai Warga Negara banyak terkait dengan masalah hak asasi manusia. Beberapa
usulan, salah satunya seperti yang disampaikan oleh Muhammad Ali dari F-PDIP
menyampaikan usulan fraksinya yang meliputi perubahan penomoran bab dan isi
pasal tentang hak asasi manusia.
... Pimpinan
dan anggota PAH I yang kami hormati. Dengan dasar pemikiran yang kami sampaikan
tadi maka mengenai Bab XI ini kami mengajukan usulan perumusan sebagai berikut,
jadi dari PDIP menggunakan Bab XI bukan X.
Bab XI
”Warga negara,
Penduduk dan Lingkungan Hidup”
Pasal 34, Ayat
(1)... Ayat (10) ”Negara wajib memelihara dan menjaga kelestarian lingkungan
hidup yang pelaksanaannya diatur dengan undang-Undang”[28].
Berikut ini usulan isi pasal-pasal hak asasi manusia yang diusulkan F-KB
melalui Syarief Muhammad Alaydarus.
... Karena itu
fraksi kami dari Fraksi Kebangkitan Bangsa mengajukan usul penambahan bab
tersendiri berkenaan dengan hak asasi manusia. Apa yang akan kami sampaikan
sekaligus untuk menyempurnakan draft mentah yang sempat kami sampaikan pada
hari kemarin.
Pasal-pasal
berkenaan dengan hak asasi manusia yang ingin kami ajukan, apakah ini pasal
atau ayat nantinya.
1.
...
2.
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, dan martabatnya. Dalam istilah agama dikenal dengan
istilah hifzhum nasl, perlindungan
terhadap keberlangsungan kehidupan individu.
3.
...
4.
Setiap orang berhak memperoleh jaminan perlindungan hak
milik pribadi (hifzhul mal).
5.
Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan (hifzhul kasb).
6.
...
7.
Setiap orang berhak atas tempat tinggal dan lingkungan
hidup yang layak.
8.
...[29]
Asnawi Latief dari F-PDU mengajukan draf usulan isi pasal mengenai hak
asasi manusia, yang selanjutnya meneruskan penyampaian usulan mengenai
pasal-pasal.
... Pasal
berikutnya, ayat (1): ”Setiap orang berhak atas kehidupan yang layak baik untuk
dirinya dan keluarganya”. Ayat (2): ”Setiap orang berhak mendapatkan ruang dan
lingkungan hidup yang sehat”[30].
Slamet Effendy Yusuf dari F-PG menyatakan bahwa UUD 1945 belum memberikan
arahan yang jelas dan terperinci mengenai hak asasi manusia. Selanjutnya
mengusulkan hal-hal yang menyangkut HAM yang perlu diatur dalam konstitusi.
Slamet Effendy Yusuf isi pasal-pasal tentang hak asasi manusia secara terinci,
adapun hak atas lingkungan tercantum dalam Pasal 36.
Ayat (1)
”Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan bathin”.
Ayat (2)
”Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Ayat (3)
”Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkelakuan yang layak”.
Ayat (4)
”Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus di masa
kanak-kanak, di hari tua dan apabila menyandang cacat”.
Ayat (5)
”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat”.
Ayat (6)
”Setiap orang mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Ayat (7)
”Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”[31].
F-PPP melalui Alihardi Kiaidemak memberikan pendapatnya tentang usulan Bab
(ditentukan kemudian) Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari beberapa pasal:
1.
...
13. Setiap warga negara berhak atas tempat tinggal dan lingkungan hidup
yang layak dan sehat.
Pembahasan-pembahasan dalam PAH I dirumuskan menjadi sebuah naskah
rancangan perubahan UUD 1945. Hasil rumusan rancangan dari PAH I diputuskan
menjadi usul BP MPR yang diajukan ke Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000 yang
kemudian membentuk alat kelangkapan Majelis. Di antara alat kelengkapan Majelis
berupa Komisi Majelis, terdapat Komisi A yang khusus bertugas membahas
rancangan putusan dari BP MPR tersebut tentang perubahan UUD 1945.
Dalam rapat Komisi A membahas mengenai usulan-usulan yang berasal dari naskah
rancangan perubahan UUD mengenai HAM dari berbagai pihak dalam PAH I BP MPR
untuk dimasukkan atau tidak dalam rumusan pasal-pasal hak asasi manusia. Usulan-usulan
yang dibahas dalam rapat I sampai V Komisi A kemudian disimpulkan pada Rapat VI
Komisi. Pemipimpin Rapat Komisi A yaitu Hamdan Zoelva menyampaikan kesimpulan
sebagai berikut:
... dan seluruh
usulan-usulan kemarin ada yang kita tampung di sini, ada juga yang mungkin
tidak, karena setelah kita diskusi dengan panjang ternyata kita sepakati
seperti ini. Baik Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, apa perlu saya bacakan.
Bab XA
Hak Asasi
Manusia
Pasal 28 (A):
...
Pasal 28H ayat
(1) ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”[32].
Setelah melewati rangkaian perdebatan dan interupsi, pada akhirnya Ketua
Rapat, Hamdan Zoelva mencoba merumuskan dan mengusulkan agar konsep HAM dapat
terlebih dahulu disetujui oleh peserta rapat. Akhirnya seluruh fraksi yang ada
di Komisi A menyetujui hasil ini, seperti dikatakan Hamdan Zoelva.
... Dengan
demikian, seluruh fraksi sudah menyetujui rumusan bab mengenai Hak Asasi
Manusia ini dengan beberapa tambahan dan penyempurnaan yang juga kita sudah
sepakati bersama. Perbedaan-perbedaan yang ada sudah disampaikan selesaikan
dengan arif dengan semangat kebersamaan kita demi bangsa dan negara...[33].
Selanjutnya hasil pembahasan Komisi A dilaporkan ke Rapat Paripurna Sidang
Tahunan MPR yang berlangsung dari 7 – 18 Agustus 2000. Akhirnya rancangan
perubahan tersebut disetujui untuk diputuskan pada Rapat Paripurna Sidang
Tahunan MPR-RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000.
Pada akhirnya rumusan hak atas lingkungan masuk dalam Bab yang mengatur hak
asasi manusia, yaitu Bab XA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang dimulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J. Adapun pasal yang khusus
mengenai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah Pasal 28H ayat
(1).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang lahir sebelum amandemen
UUD 1945 telah menentukan adanya hak atas lingkungan yang baik dan sehat yaitu
dalam Pasal 9 ayat (3): ” Setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Adanya hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 didasarkan
karena lingkungan sudah semakin rusak yang mengakibatkan terganggunya
kelangsungan hak untuk hidup yang dimiliki oleh setiap manusia. Dengan demikian,
dapat juga dikatakan bahwa lahirnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena
perkembangan kehidupan manusia terhadap lingkungannya, yang sudah semakin rusak
sebagai akibat kegiatan atau usaha yang berdampak langsung terhadap lingkungan
hidup.
Setelah amandemen UUD 1945 keempat tahun 2002 selesai, dan kehidupan umat
manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, maka sebagai
implementasi dari Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, lahirlah Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
Undang-Undang ini ditentukan dengan rinci tentang hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat, yaitu Pasal 65 dan 66. Begitu juga penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terutama poin satu dengan tegas menyatakan:
”Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
lingkungan hidup yang
baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak
konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena
itu, negara, pemerintah,
dan seluruh pemangku kepentingan
berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan agar lingkungan
hidup Indonesia dapat
tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta
makhluk hidup lain”.
Hal ini berarti, hak atas lingkungan yang baik dan sehat juga merupakan hak
konstitusional yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia, yang juga mendapatkan
perlindungan hukum, demikian juga setiap orang yang memperjuangkan hak
atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat
tidak dapat dituntut secara
pidana maupun digugat secara perdata (Pasal 66 UU No. 32 Tahun
2009).
F.
Penutup
Gagasan atau ide hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat baru
dipikirkan pada saat amandemen UUD 1945. UUD 1945 sebelum amandemen pada saat
perumusannya tidak menentukan dan mencantumkan tentang gagasan dan perlunya hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Gagasan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat ini muncul untuk pertama kalinya pada rapat PAH I BP MPR
yang ke-17 yang mengundang kelompok profesional yaitu Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (ISEI) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), dan Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBI) dan Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia
(PBHI). Gagasan hak atas lingkungan yang baik dan sehat ini muncul karena
adanya hak atas ekonomi yang selanjutnya dimuat dalam Pasal 28H ayat (1). Hak
atas lingkungan yang baik dan sehat dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945
diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 lahir sebagai akibat perkembangan perekonomian dengan segala
pembangunannya mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, sehingga perlunya
perlindungan lingkungan hidup oleh negara, karena perekonomian juga bergantung
pada lingkungan hidup. Pada akhirnya lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan
hak asasi manusia.
Daftar Pustaka
Bambang Sunggono dan
Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar
Maju, 1994.
Djoko Rahardjo,
Pembahasan Makalah Prof. Mariam Budiardjo, berjudul “Konsep Barat dan Non-Barat
Mengenai Hak Asasi Manusia” Seminar Sehari Hak Asasi Manusia oleh Perguruan
Tinggi Hukum Militer, Jakarta, Juni 1994.
Harum Pujiarto, St., Hak Asasi Manusia di Indonesia Suatu
Tinjauan Filosofis Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya Dalam Hukum Pidana,
Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1993.
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali
Press, 2009.
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia,
Jakarta: Bina Aksara, 1984.
Kuntjoro
Purbopranoto, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1969.
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan MK RI, 2010.
Marbangun
Hardjowirogo, Hak-hak Manusia, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia: 1981.
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid Pertama, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.
Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Jakarta:
Binacipta, 1985.
Otto Soemarwoto, Permasalahan Lingkungan HIdup, dalam Seminar Segi-segi Hukum
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: Binacipta, 1977.
Saafroedin Bahar dan
Nannie Hudawati, eds, Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI, 2005.
Sekretariat Jenderal
MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008.
Sekretariat Jenderal
MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku
Dua, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008.
Sekretariat Jenderal
MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku
Lima, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008.
Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1974.
Willem van Genungten,
Human Rights Reference Handbook, Netherlands Ministry of Foreign Affairs, Human Rights, Good
Governmence and Democratization Department, 1999.
[1]) Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), hlm. 168.
[2] Yudana dalam St. Harum Pujiarto, Hak
Asasi Manusia di Indonesia Suatu Tinjauan Filosofis Berdasarkan Pancasila dan
Permasalahannya Dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
1993), hlm. 25.
[3] Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak
Asasi Manusia dan Pancasila, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), hlm. 18-19.
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia: 1981), hlm. 120.
[5] Harum Pujiarto, Op.Cit, hlm.
26.
[6] Bambang Sunggono dan Aries
Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju,
1994), hlm. 70.
[7] Marbangun Hardjowirogo, Hak-hak
Manusia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981),
hlm. 7.
[8] Djoko Rahardjo, Pembahasan Makalah
Prof. Mariam Budiardjo, berjudul “Konsep Barat dan Non-Barat Mengenai Hak Asasi
Manusia” Seminar Sehari Hak Asasi Manusia oleh Perguruan Tinggi Hukum Militer,
Jakarta, Juni 1994.
[9]) Otto Soemarwoto, Permasalahan Lingkungan HIdup, dalam
Seminar Segi-segi Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Binacipta,
1977), hlm. 12.
[11] Willem van Genungten, Human Rights
Reference Handbook, Netherlands Ministry of
Foreign Affairs, Human Rights, Good Governmence and Democratization
Department, 1999, hlm. 18.
[12] Hak masyarakat pedalaman/asli atas
lingkungannya.
[13] Prinsip 6: …The just struggle of
the peoples of all countries against pollution should be supported.
[14] Lihat Prinsip 14 the 1994 Drfat
Declaration of Principles on Human Rights and The Environment.
[15] Lihat Pasal 7 dan Pasal 25 Konvensi
ILO 169.
[16] Pasal 15 Konevsni ILO 169.
[17] Pasal 20 ayat (3) butir b Konvensi
ILO 169.
[18] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945,
Jilid Pertama, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 296-301. Saafroedin
Bahar dan Nannie Hudawati, eds, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945,
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), hlm. 276 – 324.
[19] Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,
1984), hlm. 29.
[20] Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1974), hlm.
[21] Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI, 2005), hlm. 9 – 10.
[22] Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta:
Sekretariat dan Kepaniteraan MK RI, 2010), hlm. 213.
[23] Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 22.
[24] Ibid.,
hlm. 24.
[25] Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku Dua,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 205.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku Lima,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 325.
[29] Ibid.,
hlm. 380 – 381.
[30] Ibid.,
hlm. 387.
[31] Ibid.,
hlm. 396-399.
[32] Ibid.,
hlm. 514 – 517.
[33] Ibid.,
hlm. 535.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar