Minggu, 21 Oktober 2012

Hak Atas Lingkungan Hidup


GAGASAN HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG BAIK
DAN SEHAT DALAM UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945


Oleh:
Sodikin, S.H.,M.H., M.Si.

Abstrak
Melalui reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 mengakibatkan UUD 1945 harus diamandemen. Amandemen UUD 1945 adalah sesuatu yang wajar untuk mulai mereformasi semua kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Gagasan hak atas lingkungan yang baik dan sehat muncul pada saat amandemen UUD 1945 yang kedua. Perlunya hak atas lingkungan baik dan sehat dalam ketentuan UUD 1945 adalah juga sesuatu yang wajar, karena perkembangan kehidupan yang mengakibatkan rusak dan tercemarnya lingkungan hidup. Lingkungan hidup perlu dilindungi dari kerusakan dan pencemaran, dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup berarti juga perlindungan terhadap hak asasi manusia.


Abstract
Through reforms that began in 1998 resulted in the 1945 Constitution should be amended. The 1945 amendment is something that is natural to begin reform of all life as a nation, state and society. The idea of ​​the right to a good and healthy environment emerged as the second amendment to the 1945 Constitution. The need for the right to good and healthy environment in terms of the 1945 Constitution is also something that is reasonable, because the development of life lead to damage and contamination of the environment. Environment needs to be protected from damage and pollution, the protection of the environment is also the protection of human rights.




A.     Pendahuluan
Euforia reformasi yang dimulai tahun 1998 merupakan tonggak awal dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat untuk mengadakan perubahan secara mendasar. Melalui reformasi sesungguhnya membawa harapan baru bagi perkembangan demokrasi dan pelaksanaan hak asasi manusia. Demokrasi dan hak asasi manusia mendapatkan porsi yang pertama dalam reformasi. Untuk mewujudkan harapan baru tersebut, maka perubahan yang sangat mendasar adalah amandemen UUD 1945 itu sendiri. Hal ini, karena dengan diamandemennya UUD 1945, dengan sendirinya kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat akan berubah. Amandemen UUD 1945 adalah harga mati, sebab tanpa melalui amandemen UUD 1945, maka mustahil reformasi akan terwujud. Reformasi melalui amandemen UUD 1945, dapat mewujudkan demokrasi dan pelaksanaan hak asasi manusia. Hasil amandemen menempatkan demokrasi dan hak asasi manusia, sebagai perwujudan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dua masalah ini merupakan masalah yang diagung-agungkan semenjak orde baru runtuh tahun 1998. Menguatnya demokrasi dan hak asasi manusia sekarang ini dipahami sebagai kebebasan yang bebas dari belenggu kekuasaan yang sangat terikat.
Perkembangan berikutnya dari masalah hak asasi manusia sekarang ini dipahami sebagai kebebasan untuk berbuat apa saja, semua orang mengatasnamakan HAM. Orang dapat bertindak atau berbuat seenaknya dengan mengatasnamakan HAM, begitu juga dengan demokrasi. Perlu diketahui bahwa dalam UUD 1945 hasil amandemen menempatkan porsi hak asasi manusia dalam beberapa pasal UUD 1945. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen tidak menempatkan pasal-pasal mengenai hak asasi manusia secara jelas.
Salah satu masalah hak asasi manusia adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup dengan segala ekosistemnya. Permasalahannya sekarang ini adalah lingkungan hidup sudah mulai rusak dan dirusak oleh manusia. Kerusakan lingkungan hidup sudah di luar batas kerusakan lingkungan hidup. Rusaknya lingkungan hidup menyebabkan gangguan kesehatan, polusi udara, yang pada akhirnya kerusakan lingkungan hidup itu juga melanggar hak asasi manusia. Karena manusia berhak atas lingkungan yang sehat, bebas dari polusi dan lain-lainnya. Hak asasi manusi dan lingkungan hidup memiliki ketergantungan satu sama lain. Suatu negara harus dapat memberikan pengaturan perlindungan terhadap lingkungan hidup agar dapat sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan masalah hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan yang lainnya. Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia adalah juga salah satu cara yang paling efektif untuk melindungi lingkungan hidup.
Oleh karena itu, permasalahan adalah bagaimana ide atau gagasan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu ke dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945 hasil amandemen). Permasalahan hak asasi manusia yang begitu menguat pada era reformasi ini menunjukkan bahwa masalah hak asasi manusia adalah masalah kemanusiaan yang perlu ada aturannya yang tegas. Gagasan hak atas lingkungan hidup tidak serta merta merupakan masalah lingkungan hidup saja yang signifikan masuk dalam amandemen UUD 1945, tetapi masalah lingkungan hidup menjadi bagian dari masalah hak asasi manusia. ”Karena itu, muncul pemikiran untuk menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat Undang-Undang Dasar”[1]). Secara eksplisit para perumus amandemen UUD 1945 menempatkan lingkungan hidup itu adalah bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, apa yang sebenarnya hak asasi manusia dan lingkungan hidup itu, dan bagaimana hubungan keduanya serta bagaimana gagasan hak asasi manusia itu dalam amandemen UUD 1945.

B.      Pemahaman Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup
Masalah hak asasi manusia sebenarnya sudah lama dibicarakan dan dipermasalahkan yaitu sejak adanya umat manusia itu sendiri. Munculnya hak asasi manusia bersamaan dengan lahirnya umat manusia itu sendiri, atau lahirnya hak asasi manusia bersamaan dengan lahirnya umat manusia. Sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, yaitu sejak umat manusia mengenal pergaulan telah tercatat banyak kejadian bahwa seseorang atau segolongan orang mengadakan perlawanan terhadap golongan lain atau penguasaan untuk memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya. Perlawanan itu timbul apabila terjadi tindakan atau perbuatan pihak lain (biasanya penguasa) yang dianggap menyinggung perasaan, menghambat kebebasan maupun merendahkan martabat (dignity) seseorang.
Tindakan atau perbuatan  tersebut dapat terjadi dalam pergaulan hidup, sebab tanpa berhubungan antara seseorang dengan lainnya, maka manusia tidak akan dapat mengembangkan cita, rasa dan karsanya sebagaimana yang telah menjadi fitrah manusia. Oleh karena itu, hak asasi manusia yang dikenal sekarang ini, baik yang telah dicantumkan dalam piagam-piagam tertentu atau dalam pasal-pasal Undang-undang Dasar suatu negara maupun yang dirumuskan dalam undang-undang, sudah diperjuangkan sejak timbulnya kelompok penguasa seperti raja-raja, kepala-kepala suku dan sebagainya. Sejarah perkembangan umat manusia terus berjalan, apa yang dianggap merupakan hak-hak dasar manusia juga bertambah. Sejak abad ke-13 apa yang diasumsikan sebagai hak-hak dasar manusia mulai diperjuangkan secara gigih dan terorganisir. Perjuangan akan hak asasi manusia terus bergerak hingga saat ini, dan substansi hak asasi manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia itu sendiri.
Oleh karena pentingnya hak asasi manusia dalam kehidupan umat manusia, maka keberadaan hak asasi manusia tercantum dalam piagam-piagam, Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. Hal ini sama juga terhadap hak asasi manusia di Indonesia yang secara ekplisit tercantum melalui pasal-pasalnya dalam Undang-Undang Dasar, di samping juga Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai hak asasi manusia. Sekadar pemahaman hak asasi manusia, maka dijelaskan pengertian hak asasi manusia oleh para pakar hukum maupun politik.
Pengertian hak asasi manusia berasal dari terjemahan bahasa Perancis dikenal droit de l’homme (hak manusia), dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah human rights, bahasa Belanda dikenal dengan menselijke rechten.
Secara harfiah yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah hak pokok atau hak dasar[2]. Dalam arti harfiah ini, maka hak asasi manusia merupakan hak yang bersifat fundamental, sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan, tidak dapat diganggu gugat, bahkan harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan dari segala macam ancaman, hambatan dan ganggugan dari manusia lainnya.
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dipisahkan dari hakikat dan karena itu bersifat suci[3]. Menurut Miriam Budiardjo, hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang dimiliki manusia yang telah diperolehnya dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat[4]. Karena merupakan hak yang pokok, hak asasi manusia ini merupakan sesuatu yang dengan sendirinya mengawasi kehidupan manusia dan bukan pemberian dari masyarakat. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat St. Harum Pujiarto yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan sesuatu hak yang awal, bukan sesuatu pemberian dari masyarakat atau negara, hak itu adalah hak hidup dengan segala kebebasannya untuk menyatakan cipta, karsa dan rasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya[5].
Bambang Sunggono dan Aries Harianto berpendapat, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan berdasarkan hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia[6]. Dalam hal ini Bambang dan Aries sependapat, jika hak asasi manusia dikatakan sebagai hak asasi yang dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Jadi, bukan merupakan hak yang diberikan oleh masyarakat.
Marbangun Hardjowirogo merumuskan tentang hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang memungkinkan kita untuk tanpa diganggu menjalankan hidup bermasyarakat dan bernegara sebagai warga dari suatu kehidupan bersama[7]. Djoko Rahardjo merumuskan hak asasi manusia adalah suatu konsepsi mengenai pengakuan atau harkat dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah yang melekat pada setiap manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin[8]. Oleh karena itu, harkat dan martabat yang dimiliki manusia secara alamiah dan melekat pada setiap manusia tanpa perbedaan apapun dapat dikatakan sebagai hak asasi manusia.
Oleh karena itu, hak asasi manusia merupakan hak yang melekat dalam diri manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya, baik sejak dalam kandungan maupun setelah dilahirkan ke dunia, tanpa memandang berbagai jenis perbedaan yang terkait dengan segala aspek kehidupan manusia. Konsep dan substansi dari hak asasi manusia itu sendiri terus berkembang, sesuai dengan harkat dan martabat manusia dalam kehidupannya. Salah satu hak asasi manusia dalam kajian ini adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang pada akhirnya tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, lingkungan hidup menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita[9]). Selanjutnya Munadjat Danusaputro, menyatakan bahwa lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup dan kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya[10]). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: ”Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.
Dengan demikian, berdasarkan pengertian tersebut, maka lingkungan hidup merupakan satu kesatuan ekologi yang juga merupakan suatu daur kehidupan (recyling) atau suatu ekosistem dimana manusia ada di dalamnya. Ekosistem yang merupakan suatu hubungan timbal balik antara berbagai komponen lingkungan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan hidup atau ekologi itu sendiri. Dalam hubungan yang timbal balik ini, diperlukan adanya keseimbangan dan keselarasan ekologi, yaitu suatu keadaan bahwa makhluk hidup ada dalam hubungan yang harmonis dengan lingkungannya, sehingga terjadi keseimbangan dan keselarasan interaksi antar makhluk hidup dan lingkungannya. Dari semua makhluk hidup, manusialah yang paling mampu untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Apabila manusia tidak mampu dalam menjaga dan melindungi lingkungan, maka terjadilah pencemaran, perusakan dan kerusakan lingkungan. Pencemaran, perusakan dan kerusakan itulah yang menjadi masalah bagi hidup dan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, komponen lingkungan hidup yang namanya manusia yang dapat melakukan tindakan pencemaran, perusakan dan kerusakan lingkungan hidup.

C.      Hubungan Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup
Hak asasi manusia dan lingkungan hidup memiliki ketergantungan satu sama lain. Negara dapat memberikan pengaturan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang juga sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan masalah hak untuk hidup, hak atas kesehatan, gangguan atas hak milik sampai dengan pemberian perlindungan bagi masyarakat pedalaman. Dengan demikian, lingkungan hidup dan hak asasi manusia adalah dua hal yang saling berhubungan dan dapat saling memperkuat di antara keduanya. Mengakui hak asasi manusia berarti juga melindungi lingkungan hidup dan sekaligus dapat digunakan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) sebagai salah satu tujuan pembangunan Indonesia. Hal ini, karena dengan mengakui dan melindungi hak asasi manusia adalah cara yang potensial untuk melindungi lingkungan hidup.
Berbagai masalah lingkungan hidup kemudian muncul sebagai akibat dari keinginan manusia untuk terus berkembang dan membangun kehidupan yang lebih baik. Dalam kerangka hak asasi manusia, keinginan tersebut didasarkan pada hak atas pembangunan (the right to development). Pembangunan yang dilakukan oleh manusia banyak melupakan lingkungan hidup. Pembangunan selalu terkait dengan masalah ekosistem yang merupakan suatu daur kehidupan yaitu manusia dan lingkungannya memiliki hubungan satu sama lain. Misalnya, dalam hal untuk mendapatkan percepatan dalam dalam bidang pangan, yaitu di bidang pertanian maka digunakanlah pestisida yang berfungsi untuk memusnahkan hama tanaman. Padahal pestisida akan membunuh semua spesies dan manusia lupa bahwa pada dasarnya spesies juga memiliki ketahanan untuk hidup, dan lama kelamaan penggunaan pestisida justru berakibat buruk pada kesehatan manusia.
Dalam kasus yang lain, pelanggaran terhadap hak asasi manusia, seringkali terjadi kerusakan lingkungan hidup. Misalnya masyarakat yang hidup di sekitar pertambangan PT. Freeport, mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan (yang menggunakan kekuatan bersenjata) dalam memanfaatkan sumber daya alam, seperti kayu, emas, dan minyak mentah (crude oil). Sumber daya alam tersebut dieksploitasi oleh pendatang (PT. Freeport) yang berakibat merusak lingkungan hidup setempat, di lain pihak masyarakat setempat yang sudah turun temurun berdiam dan sekaligus menggunakan wilayah yang sama sebagai sumber penghidupan akhirnya kehilangan mata pencahariannya. Akibat dari pertentangan ini, banyak penduduk setempat yang menjadi korban aparat keamanan yang banyak membantu para pengusaha untuk mencapai apa yang diinginkan. Protes pun dilakukan oleh warga masyarakat yang tinggal di sekitar PT. Freeport tersebut yang menuntut keadilan (yaitu hak atas tanah yang secara turun temurun telah dikuasai oleh mereka). Banyak penduduk kemudian diintimidasi, ditahan, disiksa bahkan dibunuh oleh pihak keamanan karena penduduk dianggap sebagai pemberontak. Begitu juga dalam kasus sengketa lahan antara masyarakat penduduk asli dengan perusahaan (baik perusahaan pertambangan maupun perusahaan pertanian). Masalah lain juga muncul yaitu limbah dari penambangan emas dapat mengakibatkan tercemar dan/atau kerusakan sungai dan danau sehingga masyarakat pengguna sungai atau danau tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Selanjutnya bagi masyarakat pedalaman (local community) setempat, bahwa tanah, sungai dan danau adalah sumber kehidupan yang sangat dihargai bagaikan ibu kandung mereka sendiri, yang tidak boleh dirusak.
Selanjutnya apa yang terjadi kemudian, hak manusia untuk mendapatkan kehidupan dan lingkungan yang baik dan sehat (the right to healthy environment) menjadi dilanggar. Pelanggaran yang demikian akan terus terjadi, apabila perlindungan terhadap lingkungan hidup tidak dilakukan, dan justru akan dapat mengakhiri pemenuhan standar hak asasi manusia itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia adalah salah satu cara yang efektif untuk melindungi lingkungan hidup.

D.     Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup
Ketentuan mengenai perlindungan hak asasi manusia (human rights) secara internasional diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948 (Piagam PBB) yang salah satu tujuannya dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan: promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion. Ketentuan tersebut sebenarnya bukan mengatur secara khusus masalah hak atas lingkungan hidup, tetapi mengatur masalah hak asasi manusia secara umum.
Tujuan yang terdapat dalam Pasal  1 ayat (3) Piagam PBB diperkuat lagi melalui Piagam ECOSOC (The Charter of the Economis and Social Council). Pasal 62 ayat 2 ECOSOC menyatakan: recommendations for the purpose of promoting respect for, and observance of human rights and fundamental freedom for all. Deklarasi ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya International Covenant on Civil and Practical Right yang selanjutnya dikenal dengan ICCPR dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rigths yang disebut dengan ICESCR melalui Resolusi Majelis umum PBB No. 2000 A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966.
Berbagai pengaturan mengenai HAM tersebut tidak secara eksplisit membahas masalah perlindungan lingkungan hidup. Akan tetapi apabila diperhatikan ada beberapa hak asasi yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan hidup terutama hak yang terkait dengan generasi ketiga HAM yaitu solidarity rights. Hak ini termasuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih (right to a clean environment)[11]. Hak ini dapat dibagi lagi menjadi hak untuk hidup, hak mendapat kehidupan yang baik dan sehat, hak untuk mendapatkan kesehatan serta hak untuk mendapatkan kebebasan atas harta benda, dan juga perlindungan terhadap indigenous people/local community[12].
1.    Hak untuk Hidup (The Right to Life)
Hak untuk hidup adalah hak yang paling dasar, karena itu tidak dapat diganggu akibat kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup yang berakibat matinya manusia. Kejadian yang sangat dasyat akibat pelanggaran hak untuk hidup adalah ketika terjadi ledakan reaktor nuklir di Chernobyl Rusia dan di Bhopal India yang mengakibatkan ribuan orang meninggal dan menderita cacat seumur hidup akibat radiasi nuklir tersebut. Pasal 6 ayat (1) ICCPR mengakui adanya hak untuk hidup, yaitu every human being has the inherent rights to life, …no one shall be arbitrarily deprived of his life.
Jadi, setiap orang berhak untuk hidup dan tidak ada seorang pun dan juga negara dapat sewenang-wenang menghentikan kehidupan seseorang. Negara harus melakukan berbagai tindakan atau paling tidak, tidak boleh lalai untuk melindungi kehidupan manusia. Jadi, kerusakan atau tercemaranya lingkungan hidup dapat berakibat matinya orang, sehingga di sini negara  tidak boleh lalai untuk melindungi kehidupan manusia dari kerusakan dan pencemaran lingkungan seperti yang telah terjadi di berbagai belahan bumi akibat industri atau polusi dari berbagai sumber maupun radiasi raktor nuklir.
2.    Hak atas Lingkungan yang Sehat (The Right to Healthy Environment)
Sebenarnya tidak ada dokumen HAM maupun Konstitusi Negara-negara yang menentukan dengan tegas mengenai hak atas lingkungan yang sehat (healthy environment). Hal ini, meskipun tidak ada yang secara tegas mengatakan healthy environment, tetapi setidaknya terdapat hak untuk mendapat kondisi kerja yang sehat atau untuk mendapatkan kehidupan yang adequate for the health pada lingkungan kerja. Jadi, hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kehidupan yang sehat. Untuk mendapatkan kehidupan yang sehat tentu saja harus dengan menjaga lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran. Ketentuan ini terdapat dalam ICESCR Pasal 7 butir b menyatakan pengakuan akan hak setiap orang mendapatkan kondisi kerja yang sehat (…the right of everyone to enjoyment of just and favourable conditions of work …(a), …(b) safe and health conditions; …). Kondisi sehat tidak hanya didapatkan di rumah tetapi juga dalam tempat kerja, maka setiap orang berhak untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang sehat di tempat kerja. Jadi, kunci untuk memenuhi hak ini adalah perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dengan perlindungan terhadap lingkungan hidup, pada akhirnya manusia juga akan menikmati lingkungan yang bersih, bebas dari polusi, baik pada lingkungan kerja maupun lingkungan rumah.
3.    Hak atas Kesehatan (The Right to Healthy)
Hak atas kesehatan berarti setiap orang berhak atas kesehatan baik fisik maun mental. Hak atas kesehatan tidak lepas dari lingkungan yang sehat, sebab tanpa lingkungan yang sehat tidak mungkin kesehatan terjamin. Hal ini berarti negara harus menjamin perlindungan kesehatan setiap warganya. Pasal 12 ICESCR memberi penegasan bahwa: the state parties to the present Covenant recognize the right to everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental healthy. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan baik fisik maun mental, dan negara menjamin kehidupan lingkungan yang baik dan sehat. Lingkungan hidup harus terhindar dari polusi dan pencemaran. Pasal 6 Deklarasi Stockholm mengatur bahwa negara harus mendukung segala tindakan untuk mengurangi polusi[13]. Hal ini dimaksudkan agar kesehatan manusia tetap terjaga karena polusi mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Sebagai contoh penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang banyak terjadi di daerah  yang polusi udaranya sangat tinggi, seperti wilayah yang diselimuti asap karena kebakaran hutan, pencemaran udara akibat asap pabrik atau kendaraan bermotor atau juga pada masyarakat yang menggunakan air sungai yang sudah tercemar mengakibatkan gatal-gatal kulit. Di sinilah peran negara untuk melindungi lingkungan dari bahaya pencemaran dan polusi udara yang membahayakan kesehatan masyarakat.
4.    Hak untuk Bebas dari Segala Gangguan atas Harta Benda (The Right to be Free Interference of One’s Home and Property)
Pasal 17 ICCPR mengatur hak untuk bebas dari segala gangguan atas harta benda:
(1)   No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home or…
(2)   Everyone has the right to the protection of the law against such interference…
Pasal 17 ICCPR terdapat kata interference dan yang dimaksud dengan interference adalah gangguan maksudnya gangguan lingkungan, seperti gangguan kebisingan dari mesin pabrik, atau banjir dari sebuah bendungan yang jebol (banjir sebagai akibat dari jebolnya tanggul situ Gintung di Tangerang Selatan Banten yang menghayutkan harta benda dan juga menewaskan warga sekitarnya), dan perubahan cuaca akibat aktivitas pusat tenaga nuklir (PLTN) yang secara nyata mempengaruhi kehidupan masyarakat, atau juga perusakan lingkungan akibat pengeboran gas yang menyebabkan semburan lumpur panas di Sidoarjo (harta benda masyarakat di sekitarnya terendam oleh lumpur panas). Artinya gangguan (interference) ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
5.    Perlindungan Terhadap Indigenous People
Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Indigenous People/tribal people adalah: tribal peoples in independent countries whose social, cultural and economic conditions distinguish the from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customs or traditions or by special laws or regulations.
Pengertian menurut Konvensi ILO No. 169 tahun 1989, berarti Indigenous People adalah sekelompok etnis/bangsa yang berdiam di suatu negara, tetapi secara sosial, ekonomi, dan kebudayaannya berbeda dengan masyarakat di wilayah lain, dan dalam kehidupan sehari-harinya mereka menggunakan adat istiadatnya sendiri serta memiliki ciri tersendiri yang dalam Konevsni ILO disebut sebagai self identification. Kelompok Indigenous People atau bangsa asli ini juga merupakan kelompok yang secara turun temurun ada di wilayah tersebut, bukan kelompok yang mendominasi secara nasional, ada perbedaan baik sosial ekonomi maupun kebudayaan dengan masyarakat lain dalam satu negara, dari sudut bahasa, ras, kebudayaan spiritual berbeda, dan pemerintah memperlakukan mereka dengan berbagai kebijakan dan peraturan. Sebagai contoh masyarakat Baduy di Banten Selatan, beberapa etnis di Papua dan Papua Barat, beberapa etnis di Kalimantan, dan suku-suku lainnya di Indonesia yang mempunyai karakteristik tersendiri.
Beberapa hak yang dimiliki indigenous peoples adalah:
1.      berhak atas tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya;
2.      berhak untuk menjaga kehidupan tradisinya termasuk mendapatkan jaminan untuk itu;
3.      berhak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai tindakan yang merusak dan menurunkan kualitas tempat dimana mereka hidup[14].
Konvensi ILO 169 juga mengatur hak indigenous peoples yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, yaitu:
a.      Indigenous People berhak untuk mendapatkan perbaikan kondisi kehidupan dan tempat kerja serta juga berhak untuk mendapatkan peningkatan terhadap kesehatan mereka. Untuk itu pemerintah (tempat mereka berada) harus melindungi dan melakukan berbagai tindakan preventif untuk menjaga lingkungan hidup tempat mereka berdiam[15].
b.      Mereka berhak untuk memanfaatkan, mengatur serta mengkonservasi sumber daya alam yang berada di tempat kediaman mereka dan mereka butuhkan. Apabila wilayah mereka akan dieksploitasi dan dieksplorasi, mereka harus diajak berunding untuk resettlement serta mereka juga harus menikmati keuntungan hasil kegiatan tersebut[16].
c.       Mereka berhak atas tempat kerja yang tidak membahayakan kesehatan mereka, terutama dari pengaruh pestisida maupun bahan beracun lainnya[17].
Oleh karena itu, ada keterkaitan langsung antara perlindungan hak asasi manusia terhadap indigenous peoples dan lingkungan hidup. Hal ini, karena berbagai sumber daya alam yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia justru banyak terdapat di tempat kediaman kelompok yang masuk kategori indigenous peoples. Banyak terjadi konflik antara para pengelola sumber daya alam dengan penduduk setempat yang juga sama-sama membutuhkan sumber daya alam tersebut, namun dengan kepentingan yang berbeda. Bagi indigenous peoples atau local community, sumber daya alam hanya dibutuhkan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari, sedangkan bagi pendatang sumber daya alam dijadikan bahan komoditi yang punya nilai tinggi dan para pendatang mengeksploitasi sumber daya alam. Contoh yang terjadi di Mimika Papua, yaitu antara suku Amungme dan Kamoro dengan PT. Freeport yang dibantu aparat keamanan, atau juga di Kalimantan Tengah terjadi konflik antara perusahaan kehutanan/perkebunan dengan masyarakat asli Dayak Kalimantan dalam memperebutkan lahan hutan.

E.      Perumusan Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Gagasan memuat hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar sebenarnya sudah diperdebatkan pada saat founding father merumuskan UUD sebagai dasar negara, yang salah satunya tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan dalam UUD. Hal ini terlihat perdebatan antara Soekarno dan Soepomo dengan M. Hatta dan M. Yamin pada saat Rapat BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 Juli 1945[18]. Pada akhirnya pada 16 Juli 1945 perdebatan dalam BPUPKI menghasilkan kompromi sehingga diterima beberapa ketentuan dalam UUD[19]. Salah satu hasil kompromi adalah mencatumkan beberapa pasal tentang HAM.
Dalam perjalanan sejarah, setelah Indonesia berbentuk negara Serikat, maka Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950[20], yang berlaku selama sekitar 10 tahun (1949 – 1959), justru memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan dengan UUD 1945, bahkan bisa dikatakan bahwa kedua UUD tersebut mendasarkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan HAM-nya Pernyataan Umum tentang HAM PBB (Universal Declaration of Human Rights) yang mulai berlaku pada tanggal 10 Desember 1948[21].
UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang memang bersifat singkat dan supel, sehinggal masalah HAM yang di ada di dalamnya tidak banyak, termasuk hak atas lingkungan baik dan sehat tidak ditemukan dalam UUD 1945. Berbeda halnya dengan dua Konstitusi yaitu Konstitusi RIS dan UUDS 1950 yang memuat lebih banyak tentang HAM, termasuk di dalamnya dimuat juga masalah hak atas lingkungan hidup.
Dalam perjalanan sejarah kehidupan kenegaraan berikutnya, yaitu era reformasi dengan menguatnya hak asasi manusia dan melalui amandemen UUD 1945, masalah hak asasi manusia mendapatkan porsi yang pertama selain demokratisasi. Pada akhirnya amandemen UUD 1945 dilaksanakan juga yang terbagi dalam empat kali amandemen. Amandemen yang pertama tahun 1999, kemudian kedua tahun 2000, ketiga tahun2001 dan keempat tahun 2002.
Pembahasan mengenai masalah HAM sudah disinggung dalam Rapat PAH PAH III BP MPR RI ke-2. Rapat yang diketuai M. Amien Rais mengusung agenda Pemandangan Umum Fraksi tentang materi Sidang Umum MPR sesuai Bidang Tugas PAH BP MPR. Dalam Pemandangan Umum Fraksi tentang Materi Sidang Umum, Vincent Radja dari F-KKI menyinggung masalah HAM agar dipertegas secara detail dalam UUD 1945[22]. Perubahan UUD 1945 mengenai HAM dalam pembahasan PAH III BPR MPR Tahun 1999. Jadi, amandemen UUD 1945 mengenai HAM pada tahun 1999.
Menurut Vincent Radja dari F-KKI:
... masalah-masalah HAM perlu dipertegas secara detail dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga bangsa Indonesia yang mempunyai dasar filosofi Pancasila dapat lebih beradab[23].
Selanjutnya, Asnawi Latief dari F-PDU menyampaikan pandangan umum fraksinya mengenai masalah HAM.
... yang kesembilan, perluasan HAM. Sebab apa yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 kita sangat sumir terhadap Declaration of Human Rights. Kita sadari memang HAM itu lahir sesudah Republik ini lahir[24].

Fraksi-fraksi yang lain juga sama menyampaikan pandangan umum tentang perubahan pasal hak asasi manusia, termasuk perlunya ketentuan yang lebih rinci mengenai hak asasi manusia. Begitu juga dalam rapat ketiga PAH I BP MPR yang dilaksanakan pada 6 Desember 1999 yang diketuai oleh Jakob Tobing, bahwa tiap-tiap fraksi melalui juru bicaranya membacakan kata pengantar dan pandangan umum yang terkait dengan masalah hak asasi manusia. Pada umumnya fraksi-fraksi memberikan pernyataan tentang perubahan pasal hak asasi manusia, pemahaman hak asasi manusia dan perlunya hak asasi manusia itu diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pada masa sidang berikutnya, yaitu rapat PAH I BP MPR yang ke-17 mengundang kelompok profesional yaitu Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), dan juga diundang Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI) dan Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Salah seorang perwakilan ISEI, Ichsan Tanjung menjelaskan pengaruh demokrasi dan hak asasi terhadap ekonomi, yaitu:
... perkembangan berikutnya yang luar biasa di dalam masalah demokrasi dan HAM ini juga mempengaruhi ekonomi. Misalnya saja mana mungkin hal-hal ini timbul kalau negara itu yang menguasai ekonomi. Karena negara itu lebih kurang sama dengan kekuasaan. Dan negara kalau dengan kuasanya luar biasa mengatur ekonomi maka HAM dengan demokrasinya ini pasti akan ya katakanlah dipengaruhi di sana sini, sesuai dengan maksud yang berkuasa.
Dalam ekonomi kita mengalami hal yang luas biasa...[25].
Selain itu, ia memberi contoh isu lingkungan yang berkembang di Indonesia.
Kita mendengar bagaimana hasil-hasil hutan kita juga akan terkena hal semacam itu. Jadi, akan ada ecolabelling di negara-negara Eropa semacam itu. Dan jangan kaget kalau produksi kita akan dipertanyakan berdasakan input-input yang disampaikan oleh LSM di sini ke luar negeri bahwa itu diproduksi secara melanggar HAM entah upahnya, entah fasilitas ini itu, kesehatan, wanita hamil masih dipekerjakan. Saya kira contoh-contohnya akan semakin banyak.
Jadi, yang kami mau garis bawahi di sini bahwa Bapak Ibu sekalian ekonomi pun tidak bisa lepas dari HAM dan demokrasi. Itu juga satu alasan mengapa kita memandang ada yang tidak benar, kalau itu dipercayakan pada penyelenggara negara yang sangat berkuasa dan bisa memainkan banyak hal. Jadi, diserahkan kepada swasta tetapi dengan asumsi dasar hukum harus berlaku, dan dalam rangka memberlakukan hukum ini kita jangan keder dengan LSM, banyak fungsinya mereka itu[26].

Hendardi dari PBHI dalam kesempatan yang lain memberikan pandangan, terutama mengenai pentingnya pasal-pasal yang mengatur hak asasi manusia masuk dalam Undang-Undang Dasar.
...Konstitusi Republik Indonesia harus ditata dan dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi sumber hukum bagi kedaulatan rakyat atas negara.
Masalah kedua adalah tentang tujuan diselenggarakan negara. Konstitusi RI harus dengan jelas merumuskan apa gerangan yang menjadi tujuan tertinggi negara RI. Posisi kami dalam hal ini adalah negara adalahs ekadar sebuah organisasi kuasa yang dibentuk untuk melayani dan memenuhi kepentingan serta hak-hak warga. Karena Indonesia adalahs ebuah negeri yang didiami oleh masyarakat yang sangat majemuk. Maka penyelenggaraan demokrasi haruslah menjadi tujuan penyelenggaraan negara...
PBHI merekomendasikan paling kurang konstitusi RI harus mendefinisikan secara rinci dan menjamin secara eksplisit hak-hak dasar warga negara berikut ini:
1.      Perlindungan terhadap kebebasan pribadi;
2.      Jaminan atas Kebebasan pribadi;
3.      Kesetaraan dihadapan hukum;
4.      Kebebasan berkeyakinan agama hati nurani dan kepercayaan;
5.      Kebebasan mengeluarkan pendapat;
6.      Kebebasan berkumpul dan beriserikat;
7.      Hak atas domisili dan kebebasan berpindah tempat;
8.      Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak; serta
9.      Hak atas property dan warisan[27].

Dalam rapat PAH I BP MPR-Ri ke-42, tanggal 12 Juni 2000 yang diketuai Jakob Tobing, diagendakan pembahasan rumusan Bab X mengenai Warga Negara. Pembahasan mengenai Warga Negara banyak terkait dengan masalah hak asasi manusia. Beberapa usulan, salah satunya seperti yang disampaikan oleh Muhammad Ali dari F-PDIP menyampaikan usulan fraksinya yang meliputi perubahan penomoran bab dan isi pasal tentang hak asasi manusia.
... Pimpinan dan anggota PAH I yang kami hormati. Dengan dasar pemikiran yang kami sampaikan tadi maka mengenai Bab XI ini kami mengajukan usulan perumusan sebagai berikut, jadi dari PDIP menggunakan Bab XI bukan X.

Bab XI
”Warga negara, Penduduk dan Lingkungan Hidup”
Pasal 34, Ayat (1)... Ayat (10) ”Negara wajib memelihara dan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur dengan undang-Undang”[28].

Berikut ini usulan isi pasal-pasal hak asasi manusia yang diusulkan F-KB melalui Syarief Muhammad Alaydarus.
... Karena itu fraksi kami dari Fraksi Kebangkitan Bangsa mengajukan usul penambahan bab tersendiri berkenaan dengan hak asasi manusia. Apa yang akan kami sampaikan sekaligus untuk menyempurnakan draft mentah yang sempat kami sampaikan pada hari kemarin.
Pasal-pasal berkenaan dengan hak asasi manusia yang ingin kami ajukan, apakah ini pasal atau ayat nantinya.
1.      ...
2.      Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabatnya. Dalam istilah agama dikenal dengan istilah hifzhum nasl, perlindungan terhadap keberlangsungan kehidupan individu.
3.      ...
4.      Setiap orang berhak memperoleh jaminan perlindungan hak milik pribadi (hifzhul mal).
5.      Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (hifzhul kasb).
6.      ...
7.      Setiap orang berhak atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang layak.
8.      ...[29]

Asnawi Latief dari F-PDU mengajukan draf usulan isi pasal mengenai hak asasi manusia, yang selanjutnya meneruskan penyampaian usulan mengenai pasal-pasal.
... Pasal berikutnya, ayat (1): ”Setiap orang berhak atas kehidupan yang layak baik untuk dirinya dan keluarganya”. Ayat (2): ”Setiap orang berhak mendapatkan ruang dan lingkungan hidup yang sehat”[30].

Slamet Effendy Yusuf dari F-PG menyatakan bahwa UUD 1945 belum memberikan arahan yang jelas dan terperinci mengenai hak asasi manusia. Selanjutnya mengusulkan hal-hal yang menyangkut HAM yang perlu diatur dalam konstitusi. Slamet Effendy Yusuf isi pasal-pasal tentang hak asasi manusia secara terinci, adapun hak atas lingkungan tercantum dalam Pasal 36.
Ayat (1) ”Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan bathin”.
Ayat (2) ”Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Ayat (3) ”Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkelakuan yang layak”.
Ayat (4) ”Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus di masa kanak-kanak, di hari tua dan apabila menyandang cacat”.
Ayat (5) ”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.
Ayat (6) ”Setiap orang mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Ayat (7) ”Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”[31].

F-PPP melalui Alihardi Kiaidemak memberikan pendapatnya tentang usulan Bab (ditentukan kemudian) Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari beberapa pasal:
1.      ...
13. Setiap warga negara berhak atas tempat tinggal dan lingkungan hidup yang layak dan sehat.

Pembahasan-pembahasan dalam PAH I dirumuskan menjadi sebuah naskah rancangan perubahan UUD 1945. Hasil rumusan rancangan dari PAH I diputuskan menjadi usul BP MPR yang diajukan ke Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000 yang kemudian membentuk alat kelangkapan Majelis. Di antara alat kelengkapan Majelis berupa Komisi Majelis, terdapat Komisi A yang khusus bertugas membahas rancangan putusan dari BP MPR tersebut tentang perubahan UUD 1945.
Dalam rapat Komisi A membahas mengenai usulan-usulan yang berasal dari naskah rancangan perubahan UUD mengenai HAM dari berbagai pihak dalam PAH I BP MPR untuk dimasukkan atau tidak dalam rumusan pasal-pasal hak asasi manusia. Usulan-usulan yang dibahas dalam rapat I sampai V Komisi A kemudian disimpulkan pada Rapat VI Komisi. Pemipimpin Rapat Komisi A yaitu Hamdan Zoelva menyampaikan kesimpulan sebagai berikut:
... dan seluruh usulan-usulan kemarin ada yang kita tampung di sini, ada juga yang mungkin tidak, karena setelah kita diskusi dengan panjang ternyata kita sepakati seperti ini. Baik Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, apa perlu saya bacakan.
Bab XA
Hak Asasi Manusia
Pasal 28 (A): ...
Pasal 28H ayat (1) ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”[32].

Setelah melewati rangkaian perdebatan dan interupsi, pada akhirnya Ketua Rapat, Hamdan Zoelva mencoba merumuskan dan mengusulkan agar konsep HAM dapat terlebih dahulu disetujui oleh peserta rapat. Akhirnya seluruh fraksi yang ada di Komisi A menyetujui hasil ini, seperti dikatakan Hamdan Zoelva.
... Dengan demikian, seluruh fraksi sudah menyetujui rumusan bab mengenai Hak Asasi Manusia ini dengan beberapa tambahan dan penyempurnaan yang juga kita sudah sepakati bersama. Perbedaan-perbedaan yang ada sudah disampaikan selesaikan dengan arif dengan semangat kebersamaan kita demi bangsa dan negara...[33].

Selanjutnya hasil pembahasan Komisi A dilaporkan ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR yang berlangsung dari 7 – 18 Agustus 2000. Akhirnya rancangan perubahan tersebut disetujui untuk diputuskan pada Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000.
Pada akhirnya rumusan hak atas lingkungan masuk dalam Bab yang mengatur hak asasi manusia, yaitu Bab XA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dimulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J. Adapun pasal yang khusus mengenai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah Pasal 28H ayat (1).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang lahir sebelum amandemen UUD 1945 telah menentukan adanya hak atas lingkungan yang baik dan sehat yaitu dalam Pasal 9 ayat (3): ” Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Adanya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 didasarkan karena lingkungan sudah semakin rusak yang mengakibatkan terganggunya kelangsungan hak untuk hidup yang dimiliki oleh setiap manusia. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa lahirnya Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena perkembangan kehidupan manusia terhadap lingkungannya, yang sudah semakin rusak sebagai akibat kegiatan atau usaha yang berdampak langsung terhadap lingkungan hidup.
Setelah amandemen UUD 1945 keempat tahun 2002 selesai, dan kehidupan umat manusia membutuhkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, maka sebagai implementasi dari Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini ditentukan dengan rinci tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yaitu Pasal 65 dan 66. Begitu juga penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terutama poin satu dengan tegas menyatakan: ”Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan  bahwa  lingkungan  hidup  yang  baik  dan  sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh  karena  itu,  negara,  pemerintah,  dan seluruh  pemangku  kepentingan  berkewajiban  untuk melakukan  perlindungan dan pengelolaan  lingkungan  hidup dalam  pelaksanaan  pembangunan  berkelanjutan agar lingkungan  hidup  Indonesia  dapat  tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain”. 
Hal ini berarti, hak atas lingkungan yang baik dan sehat juga merupakan hak konstitusional yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia, yang juga mendapatkan perlindungan hukum, demikian juga setiap orang yang  memperjuangkan  hak  atas lingkungan  hidup  yang  baik  dan  sehat  tidak dapat  dituntut  secara  pidana  maupun  digugat secara perdata (Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009).

F.       Penutup
Gagasan atau ide hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat baru dipikirkan pada saat amandemen UUD 1945. UUD 1945 sebelum amandemen pada saat perumusannya tidak menentukan dan mencantumkan tentang gagasan dan perlunya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Gagasan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini muncul untuk pertama kalinya pada rapat PAH I BP MPR yang ke-17 yang mengundang kelompok profesional yaitu Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI) dan Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Gagasan hak atas lingkungan yang baik dan sehat ini muncul karena adanya hak atas ekonomi yang selanjutnya dimuat dalam Pasal 28H ayat (1). Hak atas lingkungan yang baik dan sehat dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 lahir sebagai akibat perkembangan perekonomian dengan segala pembangunannya mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, sehingga perlunya perlindungan lingkungan hidup oleh negara, karena perekonomian juga bergantung pada lingkungan hidup. Pada akhirnya lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia.






Daftar Pustaka
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar Maju, 1994.

Djoko Rahardjo, Pembahasan Makalah Prof. Mariam Budiardjo, berjudul “Konsep Barat dan Non-Barat Mengenai Hak Asasi Manusia” Seminar Sehari Hak Asasi Manusia oleh Perguruan Tinggi Hukum Militer, Jakarta, Juni 1994.

Harum Pujiarto, St.,  Hak Asasi Manusia di Indonesia Suatu Tinjauan Filosofis Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya Dalam Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1993.

Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Rajawali Press, 2009.

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1984.

Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan MK RI, 2010.

Marbangun Hardjowirogo, Hak-hak Manusia, Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia: 1981.

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.

Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Jakarta: Binacipta, 1985.

Otto Soemarwoto, Permasalahan Lingkungan HIdup, dalam Seminar Segi-segi Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: Binacipta, 1977.

Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, eds, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI, 2005.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku Dua, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008.

Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku Lima, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008.

Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1974.

Willem van Genungten, Human Rights Reference Handbook, Netherlands Ministry of  Foreign Affairs, Human Rights, Good Governmence and Democratization Department, 1999.





[1]) Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 168.
[2] Yudana dalam St. Harum Pujiarto, Hak Asasi Manusia di Indonesia Suatu Tinjauan Filosofis Berdasarkan Pancasila dan Permasalahannya Dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1993), hlm. 25.
[3] Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), hlm. 18-19.
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia: 1981), hlm. 120.
[5] Harum Pujiarto, Op.Cit, hlm. 26.
[6] Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 70.
[7] Marbangun Hardjowirogo, Hak-hak Manusia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981),  hlm. 7.
[8] Djoko Rahardjo, Pembahasan Makalah Prof. Mariam Budiardjo, berjudul “Konsep Barat dan Non-Barat Mengenai Hak Asasi Manusia” Seminar Sehari Hak Asasi Manusia oleh Perguruan Tinggi Hukum Militer, Jakarta, Juni 1994.
[9]) Otto Soemarwoto, Permasalahan Lingkungan HIdup, dalam Seminar Segi-segi Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Binacipta, 1977), hlm. 12.
[10]) St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, (Jakarta: Binacipta, 1985), hlm. 32.
[11] Willem van Genungten, Human Rights Reference Handbook, Netherlands Ministry of  Foreign Affairs, Human Rights, Good Governmence and Democratization Department, 1999, hlm. 18.
[12] Hak masyarakat pedalaman/asli atas lingkungannya.
[13] Prinsip 6: …The just struggle of the peoples of all countries against pollution should be supported.
[14] Lihat Prinsip 14 the 1994 Drfat Declaration of Principles on Human Rights and The Environment.
[15] Lihat Pasal 7 dan Pasal 25 Konvensi ILO 169.
[16] Pasal 15 Konevsni ILO 169.
[17] Pasal 20 ayat (3) butir b Konvensi ILO 169.
[18] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 296-301. Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, eds, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), hlm. 276 – 324.
[19] Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 29.
[20] Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1974), hlm.
[21] Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI, 2005), hlm. 9 – 10.
[22] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan MK RI, 2010), hlm. 213.
[23] Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 22.
[24] Ibid., hlm. 24.
[25] Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku Dua, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 205.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku Lima, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008), hlm. 325.
[29] Ibid., hlm. 380 – 381.
[30] Ibid., hlm. 387.
[31] Ibid., hlm. 396-399.
[32] Ibid., hlm. 514 – 517.
[33] Ibid., hlm. 535.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar