Minggu, 21 Oktober 2012

Pemakzulan Wapres

PEMAKZULAN WAKIL PRESIDEN BOEDIONO

Oleh:
Sodikin, S.H., M.H., M.Si.
Abstrak
Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket pasangan dengan Presidennya yang kemudian dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka dalam hal pemberhentiannya juga harus melalui mekanisme pemberhentian yang memang diatur dalam konstitusi. Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah jelas mengatur secara rinci dan detail. Oleh karena itu, pemakzulan atau pemberhentian Wakil Presiden sebagai sebuah langkah extra ordinary, maka pemakzulan atau pemberhentian bukan perkara biasa. Dengan demikian, perlu pengaturan  sedemikian rupa sehingga Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat dimakzulkan jika melanggar hukum yang secara tegas diatur dalam konstitusi. Pejabat negara yang dapat diberhentikan atau dimakzulkan di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanyalah Presiden dan/atau Wakil Presiden saja. Jadi, Wakil Presiden dan Presidennya yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pasangan adalah pejabat publik yang mekanisme pemberhentiannya diatur sedemikian rupa melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang rinci tentang pengaturan pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden terdapat dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


A.       Permasalahan
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali dalam persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan yang terakhir adalah amandemen keempat tahun 2002. Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamandemen dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan amanat reformasi. Hal ini karena reformasi di Indonesia harus dimulai dari hukum dasar itu sendiri yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945, maka segala bidang kehidupan dalam penyelenggaraan negara juga berubah, misalnya bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan serta bidang-bidang lainnya.
Salah satu perubahan di bidang ketatanegaraan adalah bidang politik dan hukum yaitu mengenai tugas, wewenang dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pengaturan tata cara pemberhentian atau pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemakzulan adalah istilah yang baru, sedangkan istilah yang lazim dikenal dengan istilah pemberhentian, dalam bahasa Inggrisnya adalah impeachment, menurut Marsillam Simanjuntak merupakan “suatu proses tuntutan hukum khusus terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar”[1]).
Pengalaman terjadinya dua kali pemakzulan terhadap Presiden (Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid), maka diperlukan pengaturan ketentuan baru mengenai pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden pada saat proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tersebut memberikan penegasan tentang pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden secara lebih rinci melalui mekanisme hukum. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diberikan penegasan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK) baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adanya ketentuan yang lebih rinci dan merupakan suatu kriteria baru terhadap pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga mekanisme pemakzulan melalui mekanisme hukum yang lebih adil. Proses pemakzulan tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 78B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa proses itu dimulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan apabila memenuhi sejumlah syarat kemudian diteruskan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutuskan hasil permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terakhir sebagai institusi yang paling menentukan adalah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sejalan dengan adanya ketentuan baru dalam pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, sekarang ini muncul permasalahan adanya wacana pemakzulan Wakil Presiden Budiono. Wacana pemakzulan Wakil Presiden Boediono, dikarenakan Wakil Presiden Boediono tersangkut kasus Bank Century, pada saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Pemakzulan Wakil Presiden Boediono menguat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Panitia Khusus (Pansus) hak angketnya dalam sidang paripurna yang menyatakan bahwa Wakil Presiden Boediono terbukti telah menyalahgunakan kewenangannya pada saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Hasil rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, akhirnya banyak pendapat di masyarakat, bahwa Wakil Presiden Boediono dapat dimakzulkan dan wacana pemakzulan Wakil Presiden Boediono sekarang ini terus bergulir. Di samping itu, sebagian fraksi-faksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menginginkan hasil dari Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus terus ditidaklanjuti hingga terjadinya pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono.

B.        Landasan Konstitusional Pemakzulan di Indonesia
Dalam sistem ketatanegaraa Indonesia yang merupakan proses dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat diatur dalam konstitusi, begitu juga ketentuan mengenai pemakzulan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam konstitusi yang merupakan suatu sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, penjelasan mengenai tata cara atau prosedur dan alasan-alasan mengenai pemakzulan memang diatur dalam konstitusi. Hal ini diatur dalam konstitusi karena pemakzulan adalah bagian yang terpenting dan krusial dalam kelangsungan kehidupan bangsa menurut sistem ketatanegaraan Indonesia. Sama halnya juga dengan negara-negara lain, masalah pemakzulan ini diatur dalam suatu konstitusinya.
Secara historis sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 telah beberapa kali terjadi penggunaan konstitusi[2]). Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana sejarah sistem ketatanegaraan Indonesia mengatur mengenai pemakzulan diuraikan satu persatu dalam sub bab di bawah ini. Hal ini agar diketahui bagaimana tiap-tiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia mengatur tentang pemakzulan itu diatur. Di samping itu, juga adanya uraian satu persatu konstitusi untuk membandingkannya antara suatu konstitusi pada periode tertentu dengan periode atau pada masa yang lainnya.
Dalam sejarah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan hingga dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), ada empat macam konstitusi yang pernah diberlakukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbeda dengan konstitusi sebelumnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang memuat ketentuan dalam pasalnya secara eksplisit dan detail mengatur tentang pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini terlihat dengan jelas dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 7A tersebut menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Pemakzulan ini merupakan bagian dari sistem ketatanegaraan di Indonesia (Hukum Tata Negara), maka praktek pemakzulan ini tidak terlepas dari aspek kepentingan politik karena pemakzulan adalah sebuah proses politik. Hal ini meskipun suatu proses politik, tetapi perlu diatur lebih jelas dan spesifik, maka diaturnya proses pemakzulan tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diharapkan ada kepastian hukum dan jaminan kualitas demokrasi yang lebih baik dan tidak bersifat anarkhis. Adanya aturan pemakzulan tersebut, tentu saja belajar dari pengalaman pemakzulan terhadap dua Presiden (Soekarno dan K.H. Abdurrahman Wahid) sebelumnya yang berakhir pada pemberhentian keduanya dari jabatan Presiden.
Menyingkapi berbagai masalah yang ada terutama penegakan hukum (law enforcement) yang kemudian merupakan salah satu amanat reformasi untuk menciptakan kondisi Indonesia yang lebih baik dengan hukum sebagai panglimanya. Istilah negara hukum atau negara berdasarkan hukum dalam kepustakaan Indonesia hampir selalu dipadankan dengan istilah “rechtstaat, etat de droit, the staat according to law, legal state dan rule of law. Di samping itu juga dikenal istilah the principle of socialist legality yang lahir dari ideologinya kaum komunis”.[3]) Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, penegakan hukum masih belum menjadi permasalahan bangsa yang utama, sebagai contoh proses pemakzulan terhadap dua Presiden, yaitu Presiden Soekarno dan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Pemakzulan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid yang oleh sebagian kalangan dinilai cacat hukum dan lebih bernuansa politis. Masalah ini telah memunculkan perdebatan ketatanegaraan dalam kaitannya dengan pengaturan masalah pemakzulan, karena di dalam UUD 1945 tidak menyediakan aturan yang jelas tentang pemakzulan. Selanjutnya dalam hal yang sama pernah muncul pemakzulan terhadap Presiden Soekarno yang dimakzulkan oleh MPRS pada tahun 1967.
Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka “hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang (impersonal)”.[4]) Oleh karena itu, dalam negara hukum, hukum memegang peranan yang sangat penting dan berada di atas kekuasaan negara. Supomo menjelaskan: “… bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum pula bagi segala badan dan alat-alat perlengakapan negara”.[5]) “Negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat: antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik”.[6]) Kekuasaan tunduk pada hukum, hukum mengatur segala bentuk kekuasaan, sehingga kekuasaan tanpa hukum akan anarkis, inilah yang merupakan hubungan timbal balik antara hukum dengan kekuasaan. Oleh karena Negara Indonesia berdasarkan pada hukum, maka dalam hal penyelenggaraan pemerintahan juga harus berdasarkan hukum.
Berdasarkan pengalaman itulah, maka perlunya dibuat aturan yang lebih jelas untuk mengatur jalannya proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada saat ini sudah ada suatu aturan yang mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diatur tentang mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu lembaga yang muncul dalam kaitannya dengan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden adalah lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai suatu negara yang berdasarkan hukum. Menurut Titik Triwulan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.[7])
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru yang keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada saat itu, hakikatnya berangkat dari pemahaman akan arti penting implementasi prinsip negara hukum. Di dalam negara hukum, kekuasaan tersebut dituangkan di dalam hukum. Dalam konsteks tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan mampu melakukan kontrol dari segi hukum dalam praktek penyelenggaraan negara yang tidak menyimpang dari hukum, khususnya konstitusi. Pada prinsipnya pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah undang-undang, maksudnya Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan untuk menafsirkan sebuah konstitusi melalui undang-undang dan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, Lahirnya Mahkamah Konstitusi atas dasar pemikiran untuk menyempurnakan sistem check and balances antara pemegang kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang coba dibangun oleh MPR dengan melakukan amandemen UUD 1945.[8]) 
Di antara sekian kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, maka salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sangat penting adalah perannya dalam pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Makamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Merujuk Pasal 7B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pelanggaran sebagaimana dimaksud adalah dua hal, yaitu:
1.      Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.
2.      Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Proses pemeriksaan, mengadili dan memutus pendapat DPR itu paling lama Sembilan puluh hari setelah permintaan diterima Mahkamah Konstitusi.
Dilibatkannya peran Mahkamah Konstitusi dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terlepas dari pengalaman masa lalu dan merupakan konsekwensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu, keinginan untuk memberikan pembatasan agar seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, tetapi juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Adanya Mahkamah Konstitusi dalam proses pemakzulan yang didasari pada keinginan untuk mereduksi subjektivitas politik dalam menilai sikap dan perbuatan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden. Melalui Mahkamah Konstitusi ini diharapkan proses pemakzulan berikutnya betul-betul mendapatkan legitimasi hukum yang lebih kuat.

C.      Keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Investigasi yang dilakukan oleh fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan pandangan yang berbeda, ada fraksi yang memberikan pandangan bahwa pemberian dana talangan menyalahi aturan dan ada fraksi yang memberikan dana talangan ke Bank Century sesuai aturan. 
Hasil investigasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan segala dinamikanya, yang pada akhirnya hasil investigasi itu menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi Pansus yang menghasilkan tiga kesimpulan sebagai hasil temuan yang disebut dengan opsi A, B, dan C. Rekomendasi sebagai hasil investigasi itu menghasilkan tiga opsi, dan di antara tiga opsi itu dalam forum lobi akhirnya disepakati dua opsi, yaitu opsi A dan opsi C. Dua opsi itu akhirnya dibawa ke dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan pandangan fraksi-fraksi, salah satu fraksi adalah fraksi Partai Golkar berkeras opsi A dan C tidak dapat disatukan, sebab ada perbedaaan prinsip antara keduanya”[9]). Rapat Pimpinan DPR dengan sejumlah fraksi-fraksi menetapkan mekanisme pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna, bahkan Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso menyatakan bahwa akan ada dua kali voting dalam rapat paripurna yang direncanakan[10]). Voting pertama adalah untuk menetapkan pilihan dari dua opsi, yaitu menetapkan A dan C sebagai pilihan. Opsi kedua adalah menetapkan A, C dan kombinasi A dan C sebagai pilihan. Kombinasi A dan C adalah opsi baru yang berkembang dalam rapat Pimpinan DPR dengan sejumlah pimpinan fraksi. Menurut Priyo, opsi ini akan diserahkan kepada Rapat Paripurna, untuk disepakati menjadi salah satu pilihan atau tidak. Voting yang kedua adalah untuk memilih salah satu dari pilihan yang disepakati dalam voting yang pertama[11]).
Munculnya opsi AC dalam forum lobi yang dipimpin Ketua DPR Marzuki Alie dinilai liar. Ketua Fraksi Hanura Akbar Faisal mengatakan Marzuki Alie melangkah lebih jauh dengan menawarkan opsi AC dalam forum lobi. Pansus hanya menawarkan dua opsi A dan C, tetapi Marzuki Alie menawarkan opsi gabungan menjadi opsi AC. Penggabungan opsi tersebut menurut Akbar Faisal merupakan bentuk kurang menghargai kerja pansus.
Sebelum Sidang Paripurna dimulai, sejumlah fraksi di DPR menyatakan tidak akan mengubah pandangan akhirnya terkait kasus Bank Century. Misalnya “fraksi Partai Golkar menyatakan akan tetap bertahan dan konsisten menjadikan data dan fakta sebagai instrumen, dan langkahnya hanya semata-mata upaya untuk mengakomodir harapan masyarakat untuk segera menuntaskan kasus Century”[12]). Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh “fraksi PPP yang menyatakan bahwa fraksinya akan konsisten dengan pilihan kesimpulan dan rekomendasi C”[13]). Fraksi PKS juga memberikan pandangan yang sama mengenai hasil temuan investigasi yang kemudian dirumuskan dalam hasil rekomendasinya. Fraksi PKS memilih opsi yang menyatakan kebijakan dan pelaksanaan dalam penanganan Bank Century Bermasalah[14]). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyatakan tetap pada kesimpulan awal dan akhirnya tentang kasus Bank Century. PDIP memastikan memilih voting terbuka untuk memutuskan kesimpulan akhir, agar semua transparan dan terang bagi rakyat. Voting terbuka akan membuktikan konsistensi seluruh fraksi terhadap pandangan mereka masing-masing, karena untuk membuktikan konsistensinya, dan PDIP pasti konsisten, PDIP menyatakan bahwa kebijakan dan pelaksanaan penanganan kasus Bank Century bermasalah, sehingga sikap dan pandangan awal dan akhirnya sama. Lebih lanjut ketua fraksi PDIP DPR Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa: “kemungkinan pemakzulan terkait skandal Bank Century sangat besar dan sangat mungkin dilakukan, sebab Indonesia adalah negara hukum dan pemimpin Negara yang melanggar hukum bisa saja mengalami pemakzulan, meskipun fraksi-fraksi di DPR belum bicara ke arah pemakzulan tapi bagi PDIP bukan hal yang mustahil dilakukan”[15]).
Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memutuskan bahwa kebijakan pemerintah mengucurkan dana talangan kepada Bank Century tidak tepat. Menurut laporan Tempo Interaktif, “dalam pemungutan suara, sebanyak 325 anggota DPR memilih opsi kedua atau C. Adapun opsi pertama, A dipilih oleh 212 anggota DPR. Opsi C dipilih oleh anggota fraksi dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, Hanura dan Gerindra. Adapun opsi A dipilih Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa”[16]), yang menyatakan bahwa kebijakan dana talangan terhadap Bank Century dinilai tepat. Fraksi PKS menyatakan bahwa apabila memang akhirnya terbukti kasus Century melibatkan pejabat negara, berharap Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah tegas, dan sekaligus sebagai penegasan komitmen Presiden untuk pemberantasan korupsi”[17]). Hasil Sidang Paripurna DPR yang menghasilkan opsi C mendapat dukungan dari masyarakat terutama Petisi 28 yang menyatakan dukungannya terhadap anggota DPR yang sudah mengembalikan citra parlemen, dan berharap Presiden SBY meminta maaf terkait kasus pengucuran dana talangan terhadap Bank Century”[18]).
Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa yang memilih opsi A, karena beranggapan bahwa “kebijakan Bank Indonesia menetapkan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sesuai dengan Perpu No. 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan bertujuan mencegah Indonesia mengalami krisis ekonomi. Selain itu, disimpulkan juga bahwa tidak ada dana talangan yang mengalir ke partai politik dan pasangan calon Presiden beserta wakilnya”[19]). Sementara itu, anggota fraksi dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, Hanura dan Partai Gerindra memilih opsi C, karena menganggap “telah terjadi berbagai penyimpangan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam pengucuran dana Bank Century, sehingga diduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh otoritas moneter dan fiskal yang bisa digolongkan sebagai dugaan tindak pidana korupsi”[20]).
Hasil Rapat Paripurna tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghendaki agar kebijakan yang salah dan menjurus pada adanya dugaan tindak pidana korupsi perlu terus dilakukan pengusutan sampai permasalahan itu selesai. Hal ini sebagaimana dikemukakan sejumlah fraksi-fraksi di DPR menyatakan tidak akan mengubah pandangan akhirnya terkait kasus Bank Century. Langkah ini semata-mata upaya untuk mengakomodir harapan masyarakat untuk segera menuntaskan kasus Century. Demikian juga yang dikemukakan oleh Fraksi Partai Golkar menyatakan akan tetap bertahan. "Kami konsisten menjadikan data dan fakta sebagai instrumen[21]). Pendapat senada diungkapkan Sekretaris Fraksi PPP Romahurmuziy. Dia mengatakan “fraksinya akan konsisten dengan pilihan kesimpulan dan rekomendasi C. PPP yang memutuskan memilih opsi C yang menyatakan bahwa “kebijakan pemerintah mengucurkan dana talangan ke Bank Century bermasalah” [22]). Keputusan ini bertolak belakang dengan sebelumnya yang memilih adanya penetapan opsi gabungan. Sikap PPP yang demikian dilatarbelakangi sebagai tanggung jawab pada konstituen PPP, karena keberadaan PPP di DPR karena konstituen, dan tidak khawatir jika sikapnya di paripurna berujung pada reshuffle kabinet. Hak untuk melakukan reshuffle adalah hak prerogatif Presiden, PPP tidak akan mempermasalahkan jika menteri-menterinya direshuffle.
Perjalanan Sidang Paripurna DPR dengan segala dinamikanya yang hasilnya mayoritas anggota DPR memilih opsi C dalam proses voting tahap kedua Rapat Paripurna DPR yang membahas penetapan kesimpulan laporan Panitia Angket DPR tentang Pengusutan Kasus Bank Century. Opsi C yang menyatakan proses bailout Bank Century bermasalah dipilih oleh 325 anggota dari 537 anggota yang hadir, sedangkan opsi A yang menyatakan proses prosedur bailout tidak bermasalah dipilih oleh 212 anggota DPR. Dengan hasil voting, berarti sebagian besar anggota DPR menyatakan kebijakan bailout (dana talangan dari uang negara senilai Rp 6,7 triliun) kepada Bank Century termasuk proses merger, dan akuisisi atas bank tersebut terjadi sejumlah pelanggaran berindikasi tindak pidana korupsi, penyimpangan kebijakan perbankan dan keuangan negara, pidana pencucian uang maupun tindak pidana umum lainnya.

D.     Sulitnya Pemakzulan Wakil Presiden Boediono
Pengalaman pada saat pemakzulan atau pemberhentian Presiden Gus Dur dari jabatannya melalui Sidang Istimewa MPR (SI MPR) yang hanya mengedepankan kekuatan politik, bukan pada mekanisme hukum. Hal ini menunjukkan pada saat ini seorang Presiden dapat dengan mudah diberhentikan atau dimakzulkan karena alasan  tertentu yang tidak melalui mekanisme hukum yang harus dilaluinya. Pemakzulan Presiden Gus Dur tersebut menunjukkan adanya kekuatan politik di DPR dan MPR sehingga Presiden Gus Dur dapat diberhentikan dari jabatannya. Oleh karena itu, sekarang ini pemakzulan Wakil Presiden Boediono bukanlah yang mustahil terjadi. Hal ini apabila kekuatan politik di DPR memungkinkan transaksi politik di antara fraksi-fraksi di DPR. Misalnya fraksi yang mendukung opsi C melakukan deal-deal politik dengan fraksi pendukung pemerintah, sehingga memungkinkan Wakil Presiden Boedino melalui mekanisme yang telah ada dapat diberhentikan atau dimakzulkan.
Pengalaman Presiden Gus Dur dapat dimakzulkan karena kekuatan dan kepentingan politik pada saat itu,  maka pemakzulan dalam konteks pemerintahan saat ini akan menemui hambatan dan mungkin akan sulit dilakukan. Hal ini karena pemakzulan tidak hanya melalui kekuatan dan kepentingan politik saja, tetapi harus melalui proses hukum, sehingga memakzulkan Wakil Presiden Boediono adalah hal yang sulit terlebih lagi untuk memakzulkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa untuk sekarang ini memakzulkan Wakil Presiden Boedino bukan hal yang mudah. Memakzulkan Wakil Presiden Boediono tidaklah semudah memakzulkan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Pemakzulan kedua Presiden tersebut karena kekuatan politik pada saat itu memungkinkan. Akan tetapi kekuatan politik pada saat ini yang ada tidak mungkin memakzulkan Wakil Presiden Boediono, meskipun hasil Rapat Paripurna DPR menyimpulkan bahwa Boediono salah dalam mengambil kebijakan terhadap Bank Century. Di samping itu, proses hukum yang panjang dan sulit, sehingga pemakzulan Wakil Presiden Boediono masih jauh dari kenyataan. Hal ini, apabila melihat kenyataan proses politik yang ada seperti fraksi Demokrat yang mempunyai anggota yang paling banyak akan menghadap proses pemakzulan yang diwacanakan oleh fraksi-fraksi di DPR. Di samping itu, juga pernyataan pengamat politik yang menyatakan bahwa pemakzulan Wakil Presiden Boediono tidak memiliki dasar yang kuat, dan kerugian yang ditimbulkan akan lebih banyak dibandingkan keuntungan jika pemakzulan dilakukan. Misalnya Rizal Mallarangeng yang mengatakan bahwa “tidak adanya dasar yang kuat untuk memakzulkan Presiden dan Wakil Presiden, karena didukung oleh pernyataan hamper semua fraksi di DPR yang mengaku tidak ada niat untuk memakzulkan Presiden dan Wakil Presiden. Terkait pemakzulan Wapres Boediono karena ikut bertanggung jawab atas pengucuran bailout Bank Century, maka hal itu tidak serta merta menjadi kesalahan Boediono semata, karena informasi yang diberikan oleh Bank Indonesia ke Boediono dinilainya memiliki kualitas yang kurang meyakinkan”[23]).
Selanjutnya Partai Demokrat akan berjuang keras menutup semua pintu pemakzulan Wakil Presiden Boediono apalagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat akan meminta partai koalisi menjaga komitmen koalisi dan tidak terus mewacanakan pemakzulan. Penegasan dari Partai Demokrat yang dikatakan oleh salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang menyatakan bahwa: “Partai Demokrat akan menutup semua peluang pemakzulan, meski hanya selubang jarum, selain tidak ada alasan yang jelas, pemakzulan adalah sumber masalah berkepanjangan, sehingga menghimbau partai koalisi pemerintah SBY-Boediono untuk menaati kesepakatan yang sudah ditandatangani bersama, dan yakin partai koalisi tidak akan menggerogoti pemerintah”.[24]) Selanjutnya Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan partai yang mendukung opsi C, ternyata cenderung tidak bersikap terhadap wacana pemakzulan terhdap Wakil Presiden Boediono dalam skandal Bank Century, melalui Ketua Umumnya PPP belum waktunya memikirkan pemakzulan, sebab mekanisme dan ketentuan tentang pemakzulan seorang pejabat tinggi negara telah diatur tersendiri”[25]). Selanjutnya menurut Suryadharma Ali:
Partainya tidak ikut-ikut mendorong hak menyampaikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, sudah cukup gonjang ganjing kasus Bank Century selama ini. PPP tidak akan melanjutkan keputusan Pansus Century ke ranah pernyataan pendapat, karena sudah cukup gonjang ganjing itu, dan tidak perlu berlebihan, PPP memandang perlu memberikan kesempatan dan waktu pada pemerintah untuk konsentrasi dan focus pada masalah-masalah yang lebih besar, jangan semua energi ditumpahkan untuk Century.[26])

Wacana pemakzulan Wakil Presiden Boediono oleh banyak kalangan dinilai sangat sulit dilakukan, sehingga tidak mudah melakukan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono karena harus memenuhi beberapa persyaratan yang berliku. Akan tetapi, menurut pengamat bahwa pemakzulan Wakil Presiden Boediono dapat dimungkinkan apabila semua syarat yang ditetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah dipenuhi dengan baik. Dengan kata lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memberikan ruang pemakzulan apabila syaratnya memungkinkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Ketua DPR Marzuki Ali yang juga salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat, “menegaskan tidak mudah memakzulkan seorang Presiden dan Wakil Presiden karena harus melalui proses yang panjang”.[27]) Pasal 7B UUD 1945, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR. Pemberhentian apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini diperkuat oleh pendapat Jimly Asshiddiqie, bahwa: “mekanisme pemakzulan diatur dalam konstitusi agar forum politik DPR tidak bisa serta merta menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana Presiden tidak bisa membubarkan DPR, DPR juga tidak bisa menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden kecuali Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum”[28]). Akan tetapi sampai tulisan dibuat Wakil Presiden Boediono belum terbukti melakukan pelanggaran hukum, sebab Komisi Pemberantasan Korupsi juga yang melakukan penyidikan belum menemukan adanya unsur tindak pidana dalam kasus Bank Century terhadap Wakil Presiden Boediono.
Proses pemakzulan dilakukan dengan melalui usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat diajukan oleh DPR kepada MPR. Akan tetapi terlebih dahulu diajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum itu berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Setelah MK memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR paling lambat Sembilan puluh hari, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Selanjutnya masih ada proses lagi, yaitu Sidang Paripurna MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengambil keputusan. Dalam sidang MPR itu sendiri harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Jadi, menurut Marzuki Ali, bahwa pemakzulan Wakil Presiden seperti itu begitu panjangnya. Proses politik dan proses hukum harus dilaluinya. Selain itu sulitnya pemakzulan Wakil Presiden Boediono, mengingat bahwa separoh anggota DPR dari fraksi Demokrat, sehingga dari fraksi Demokrat saja sudah kuat, apalagi ditambah dengan partai pendukung pemerintah atau partai koalisi.
Hal senada juga dikemukakan oleh Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi, berpendapat, bahwa:
Wakil Presiden Boediono tidak bisa langsung dimakzulkan, meski akhirnya sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan memilih opsi C, Boediono tetap saja tidak bisa langsung dilengserkan. Proses yang harus dilalui hingga bisa memakzulkan Boediono masih panjang, kalau mau dibawa ke Mahkamah Konstitusi, harus ada langkah politik baru untuk melakukan pemakzulan. Langkah politik berikutnya tidak lain ialah hak menyatakan pendapat parlemen dalam sidang paripurna yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika 2/3 hadiri setuju memakzulkan Boediono, barulah perkara dimasukkan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi akan mengadili dengan menggunakan data dari DPR, pertimbangan hukum dan bukti-bukti baru yang didapat. Apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Boediono bersalah, keputusan itu di bawah ke sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang harus pula dihadiri ¾ anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang disetujui 2/3 hadiri sidang tersebut.[29])

Selanjutnya Mahfud MD menambahkan bahwa: “walau keputusan pengucuran dana talangan untuk Bank Century dilakukan saat Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia, pemakzulan tetap bisa dilakukan, sebab kalau bicara kenyataan pejabat bisa saja jatuh karena perbuatan pidana dalam jabatan sebelumnya”.[30]) Pernyataan yang sama dalam memakzulkan Wakil Presiden Boediono, yang begitu sulitnya untuk dimakzulkan, yaitu yang dikemukakan oleh pengajar hukum Universitas Gadjah Mada Edward OSH yang berpendapat: “Jangan dikira jika ada indikasi pidana Boediono bisa dimakzulkan, karena Boediono melakukan itu (pengucuran dana Century) sebagai Gubernur Bank Indonesia, bukan sebagai Wakil Presiden, tempus dan locusnya berbeda, yang dimaksud dengan tempus dan locus berbeda dengan posisi Boediono sekarang”.[31]) Pendapat tersebut dimaksudkan bahwa harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Boediono bersalah melakukan tindak pidana, kemudian barulah Boediono harus turun dari jabatan Wakil Presiden karena syarat menjadi Presiden ialah tidak pernah atau tidak sedang menjalani pidana, dan apabila hal itu terjadi proses pengadilan akan memakan waktu yang lama.
Wacana pemakzulan yang terus diwacana karena kasus Bank Century akan sulit diwujudkan apabila hal tersebut menyangkut kebijakan, apalagi dalam sistem ketatanegaraan yang menganut sistem presidensial yang dianut di Indonesia hal itu sulit dilakukan kecuali jika menyangkut penyelewenagan kekuasaan dan tindak pidana. Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution menilai “pemakzulan terhadap pemerintah terkait dengan aliran dana Bank Century tidak mungkin dilakukan apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan hal tersebut menyangkut kebijakan, jika memang dinilai terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana, kasus  Century lebih tepat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi bukan oleh pansus DPR”[32]). Hal senada juga dikatakan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang menjelaskan “kebijakan murni pejabat tidak bisa dihukum, karena sifatnya berdasarkan kewenangan pejabat saat itu. Namun pada prosesnya, bisa saja sebuah kebijakan pejabat diajukan ke hukum jika ada kesalahan dan ada buktinya”[33]).
Dalam perkembangan yang sama, untuk kesekian kalinya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kembali mengulangi sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia dalam pemerintahannya. Dalam arahannya saat menghadiri Rapim TNI 2010 di Cilangkap, Presiden SBY mengatakan, Indonesia bukan menganut sistem parlementer yang mengakibatkan kabinet bisa berusia pendek disebabkan mosi tidak percaya yang dikeluarkan parlemen. Presiden menegaskan pemerintahannya saat ini menganut sistem presidensial[34]). Kepala Negara menambahkan, tujuan dari kebijakan bailout Bank Century yang dilakukan oleh Menteri Keuangan beserta jajaran dan Bank Indonesia untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi seperti terjadi tahun 1998. Presiden SBY meminta pansus angket DPR untuk bekerja kontekstual dan lurus dalam menyelidiki seluk beluk dibentuknya kebijakan. Presiden SBY juga kembali menegaskan kebijakan yang diambil tidak bisa dipidanakan, sebab bila setiap kebijakan dipidanakan tidak ada pejabat yang berani mengambil keputusan. Namun apabila implementasi kebijakan itu ada hukum yang dilanggar barulah dapat diadili.
Hasil rapat paripurna DPR yang memutuskan ada penyimpangan pada bailout Bank Century, tetapi tidak serta merta menjadi posisi Wakil Presiden Boediono terancam, sebab Presiden SBY masih bersikukuh untuk mempertahankan Boediono sebagai Wakilnya. Apa yang diputuskan oleh DPR hanya sekadar keputusan politik, sebab apabila menjadikan kasus Century diserahkan sepenuhnya ke proses hukum, maka diperlukan pembuktian mendalam. Apabila hal ini tidak bisa dibuktikan, maka tidak dapat dilakukan tindakan pemakzulan. Jadi, apabila masalah Century ini menjadikannya sebagai sebuah keputusan hukum dari keputusan politik, maka perjalanannya akan panjang dan banyak membutuhkan waktu. Dalam hal kemenangan opsi C dengan suara 325 anggota DPR, proses hukum untuk hal ini dilakukan oleh KPK, tetapi untuk pemakzulan masih sangat mustahil. Hal ini juga dikemukakan oleh Mahfud MD, bahwa proses pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono secara ilmiah dan logis procedural sangat sulit untuk dilakukan”[35]), sehingga pemakzulan itu tidak akan terjadi. Proses pemakzulan Wakil Presiden apalagi Presiden saat ini harus menempuh tiga proses yang sangat sulit di DPR, proses previligiatum di Mahkamah Konstitusi dan proses pemakzulan di MPR. Di DPR, ada dua forum yang harus dilewati usul pemakzulan, yaitu hak menyatakan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil PResiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Preside sehingga harus diberhentikan di saat masa jabatannya.
Adanya hak menyatakan pendapat merupakan proses selanjutnya, hak menyatakan pendapat itu harus disampaikan dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 75 persen anggota DPR dan disetujui 75 persen yang hadir. Untuk saat ini fraksi-fraksi partai politik yang ada di DPR kebanyakan adalah partai yang mendukung pemerintah, sehingga sangat sulit untuk mengumpulkan anggota yang berjumlah 2/3 anggota untuk mendukung hak menyatakan pendapat. Oleh karena itu, Wakil Presiden Boediono secara politis maupun hukum tidak akan terancam walaupun secara politis Wakil Presiden Boediono dipersalahkan. Selanjutnya apabila hak menyatakan pendapat lolos, maka DPR masih harus menyelenggarakan rapat paripurna pengambilan keputusan pemakzulan. Keputusan tersebut diambil dalam Sidang Paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR dan 2/3 yang hadir harus setuju. DPR tidak akan mampu menghadirkan 2/3 anggota DPR, kalau juga hadir tetapi 2/3 tersebut tidak akan menyetujuinya, sebab partai pendukung pemerintah seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional akan solid sehingga tidak akan ada keputusan pemakzulan.
Selanjutnya pernyataan dari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pada saat Acara Rapat Kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional di Istana Cipanas Cianjur menyatakan: “tidak ada celah hukum bagi pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden, karena konstitusi sudah mengatur secara ketat”. Selanjutnya dengan “empat prinsip dasar”, Patrialis Akbar menyatakan:
1.      Prinsip pertama, pada dasarnya dalam sistem presidensial, Presiden itu tidak bisa dijatuhkan di tengah jalan, karena dia dipilih melalui pemilihan umum.
2.      Prinsip kedua, “fix term” lima tahun masa jabatan dijamin tidak boleh diganggu dengan alasan politik, sama sekali tidak boleh dan hal itu merupakan konsekwensi sistem presidensial.
3.      Prinsip ketiga, Presiden adalah lambang negara, bahkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Presiden lambang negara kesatuan, jadi tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi lambang negara, sehingga tidak mudah bahkan sulit dalam konstitusi menjadikan Presiden dan Wakil Presiden.
4.      Prinsip keempat, dalam Negara Indonesia, hukum sebagai primadona dan hukum bisa membatalkan putusan demokrasi, apabila putusan demokrasinya bertentangan dengan konstitusi.
Pemakzulan Wakil Presiden yang tidak hanya karena alasan atau mekanisme politik saja, tetapi juga harus melalui mekanisme hukum. Mekanisme hukum sbagaimana dimaksud dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melalui proses di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sekarang membuat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden, sehingg di sini menambah sulitnya pemakzulan Wakil Presiden Boediono. Jadi, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tersebut dibuat untuk menghindari politisasi yang terjadi di DPR, karena MK adalah peradilan khusus yang menilai apakah Presiden dan Wakil Presiden itu bisa dijatuhkan atau tidak. Mahkamah Konstitusi dapat menjatuhkan atau justru menyelamatkan Presiden atau Wakil Presiden.
Sebenarnya proses pemakzulan dapat saja dilakukan, tidak harus menunggu proses hukum pidana selesai, karena pemakzulan adalah ranah hukum tata negara yang berbeda dengan ranah hukum pidana yang mengadili dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada Boediono. Hal ini apabila DPR menghendaki dan memutuskan untuk mengusulkan pemakzulan ke Mahkamah Konstitusi sebelum aparat penegak hukum membuktikan bersalah, Mahkamah Konstitusi dapat menerima dan memutuskan apakah bersalah atau tidak. Vonisnya hanyalah salah atau tidak, tanpa hukuman, atau vonisnya dijatuhkan kepada MPR dalam bentuk pemakzulan. Demikian juga, apabila proses hukum membuktikan Boediono bersalah namun DPR tidak mengusulkan pemakzulan, Mahkamah Konstitusi tetap tidak bisa melakukan pemakzulan. Jadi, pemakzulan pada era reformasi ini dengan menganut sistem ketatanegaraan yang berbeda, karena konstitusnya berbeda. Pada saat Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan landasan konstitusinya adalah UUD 1945 yang memungkinkan seorang Presiden dapat dengan mudah dimakzulkan, sehingga Presiden Abdurrahman Wahid jatuhnya murni karena masaah politik dan tidak melalui proses hukum. Pemakzulan sekarang ini dengan Amandemen UUD 1945 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) pemakzulan lebih sulit, sehingga sangat sulit untuk menjatuhkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, begitu juga terhadap Wakil Presiden Boediono. Jadi, tahapan pemakzulan itu melalui proses politik diteruskan yang kemudian dilanjutkan dengan proses hukum selanjutnya proses politik kembali. Tahapan proses pemakzulan itu membutuhkan waktu yang lama, proses politik membutuhkan waktu lama juga proses hukum membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, tidak bias dibandingkan antara pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan atau Wakil Presiden Boediono.

E.      Penutup
Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan yang diambil oleh Boediono pada saat menjabat Gubernur Bank Indonesia yang dianggap salah dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, maka Wakil Presiden Boediono Wakil Presiden tidak dapat dimakzulkan begitu saja, karena pemakzulan harus melalui mekanisme yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada saat ini Wakil Presiden Boediono hanya dipersalahkan dalam proses politik tahap pertama di Dewan Perwakilan Rakyat saja belum sampai pada tahap hukum maupun tahap politik selanjutnya, yaitu di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat sampai saat ini belum ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk memakzulkan Wakil Presiden Boediono dari Jabatan Wakil Presiden. Hal ini mengingat proses politik dalam ketatangeraan saat ini tidak menghendaki adanya proses politik untuk memberhentikan pejabat publik. Sebagian besar partai politik sekarang ini menghendaki agar proses pemerintahan harus berjalan sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan yaitu lima tahun sekali.



Daftar Pustaka
A.     Buku dan Makalah

Achmad Rustandi, “Peran dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 1 Februari 2006

Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI, “Indonesia Negara Hukum”, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Jakarta: Seruling Masa, 1966.

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Marsillam Simanjuntak, “Mahkamah Konstitusi Tentang Impeachment Presiden catatan Untuk RUU Mahkamah Konstitusi”, Makalah tanpa tahun dan tidak dipublikasikan.

Soepomo, UUD RI, Noordhof, Jakarta.

Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008.

Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Dasar-dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.


B.      Internet

http://www.bataviase.com, diunduh tanggal 29 Desember 2009.

http://www.m.hariansib.com, diunduh 25 Januari 2010.

http://indosiar.com, diunduh tanggal 26 Januari 2010.

http://www.vivanews.com. diunduh Jum’at, 29 Januari 2010.

http://www.metronews.com, diunduh 30 Januari 2010.

http://www.tempointeraktif.com, diunduh Minggu 31 Januari 2010.

http://www.jakartapress.com, diunduh Senin, 1 Februari 2010.

http://www.detiknews.com, diunduh Rabu, 3 Februari 2010.

http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Senin, 1 Maret 2010 .

http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Selasa, 2 Maret 2010.

http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Rabu, 3 Maret 2010.

http://www.tempointeraktif.com, diunduh Kamis 4 Maret 2010.

file///d:pontianak.postonline_news.portalposisi.htm, diunduh, 5 Maret 2010.

http://www.kompas.com, diunduh Senin, 8 Maret 2010.

http://www.detik.com, diunduh 9 Maret 2010.

http://www.fajaronline, diunduh, Selasa, 9 Maret 2010.

http://www.inilah.com. diunduh, Rabu, 10 Maret 2010.

http://www.suaramedia.com diunduh Kamis, 11 Maret 2010.

http://www.suaramedia.com. diunduh Jum’at, 12 Maret 2010.

http://www.tempointeraktive.com  diunduh tanggal 4 April 2010.




[1]) Marsillam Simanjuntak, “Mahkamah Konstitusi Tentang Impeachment Presiden catatan Untuk RUU Mahkamah Konstitusi”, Makalah tanpa tahun dan tidak dipublikasikan.
[2]) Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hlm. 41.
[3]) Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Peme-rintah, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 109.
[4]) Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Dasar-dasarnya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 181.
[5]) Soepomo, UUD RI, Noordhof, Jakarta, hlm. 21.
[6]) Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI, “Indonesia Negara Hukum”, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, (Jakarta: Seruling Masa, 1966), hlm. 150.
[7]) Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, (Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008), hlm. 246.
[8]) Achmad Rustandi, “Peran dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 1 Februari 2006,  hlm. 9-10.
[9]) http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Rabu, 3 Maret 2010.
[10]) Ibid.
[11]) Ibid.
[12]) http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Selasa, 2 Maret 2010.
[13]) Ibid.
[14]) http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Senin, 1 Maret 2010 .
[15]) http://www.tempointeraktif.com, diunduh Minggu 31 Januari 2010.
[16]) http://www.tempointeraktif.com. diunduh Rabu, 3 Maret 2010.
[17]) http://www.tempointeraktif.com. diunduh Minggu 31 Januari 2010.
[18]) http://www.tempointeraktif.com, diunduh Kamis 4 Maret 2010.
[19]) Ibid.
[20]) Ibid.
[21]) http://www.tempointeraktive.com  diunduh tanggal 4 April 2010
[22]) Ibid.
[23]) http://www.detiknews.com, diunduh Rabu, 3 Februari 2010.
[24]) http://www.jakartapress.com, diunduh Senin, 1 Februari 2010.
[25]) http://www.metronews.com, diunduh 30 Januari 2010.
[26]) http://www.suaramedia.com, diunduh, 12 Maret 2010.
[27]) http://www.suaramedia.com diunduh Kamis, 11 Maret 2010.
[28]) http://www.m.hariansib.com, diunduh 25 Januari 2010.
[29]) http://www.tempointeraktive.com, diunduh Rabu, 03 Maret 2010.
[30]) Ibid.
[31]) Ibid.
[32]) http://indosiar.com, diunduh tanggal 26 Januari 2010.
[33]) Ibid.
[34]) Ibid.
[35]) file///d:pontianak.postonline_news.portalposisi.htm, diunduh, 5 Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar