PEMAKZULAN
WAKIL PRESIDEN BOEDIONO
Oleh:
Sodikin,
S.H., M.H., M.Si.
Abstrak
Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat
dalam satu paket pasangan dengan Presidennya yang kemudian dilantik oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka dalam hal pemberhentiannya juga harus
melalui mekanisme pemberhentian yang memang diatur dalam konstitusi. Menurut
sistem ketatanegaraan Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah jelas mengatur secara rinci dan detail. Oleh
karena itu, pemakzulan atau pemberhentian Wakil Presiden sebagai sebuah langkah
extra ordinary, maka pemakzulan atau
pemberhentian bukan perkara biasa. Dengan demikian, perlu pengaturan sedemikian rupa sehingga Presiden dan/atau
Wakil Presiden hanya dapat dimakzulkan jika melanggar hukum yang secara tegas
diatur dalam konstitusi. Pejabat negara yang dapat diberhentikan atau
dimakzulkan di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 hanyalah Presiden dan/atau Wakil Presiden saja. Jadi, Wakil Presiden
dan Presidennya yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu pasangan
adalah pejabat publik yang mekanisme pemberhentiannya diatur sedemikian rupa
melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan yang
rinci tentang pengaturan pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden
terdapat dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
A. Permasalahan
Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali dalam
persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan yang terakhir adalah
amandemen keempat tahun 2002. Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamandemen dikenal
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan
amanat reformasi. Hal ini karena reformasi di Indonesia harus dimulai dari
hukum dasar itu sendiri yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Melalui amandemen
Undang-Undang Dasar 1945, maka segala bidang kehidupan dalam penyelenggaraan
negara juga berubah, misalnya bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya,
pertahanan dan keamanan serta bidang-bidang lainnya.
Salah
satu perubahan di bidang ketatanegaraan adalah bidang politik dan hukum yaitu
mengenai tugas, wewenang dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pengaturan
tata cara pemberhentian atau pemakzulan (impeachment)
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemakzulan adalah istilah yang baru,
sedangkan istilah yang lazim dikenal dengan istilah pemberhentian, dalam bahasa
Inggrisnya adalah impeachment,
menurut Marsillam Simanjuntak merupakan “suatu proses tuntutan hukum khusus
terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar”[1]).
Pengalaman
terjadinya dua kali pemakzulan terhadap Presiden (Presiden Soekarno dan
Presiden Abdurrahman Wahid), maka diperlukan pengaturan ketentuan baru mengenai
pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden pada saat proses
perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945
tersebut memberikan penegasan tentang pemberhentian atau pemakzulan Presiden
dan/atau Wakil Presiden secara lebih rinci melalui mekanisme hukum. Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diberikan penegasan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), melalui pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK) baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Adanya
ketentuan yang lebih rinci dan merupakan suatu kriteria baru terhadap
pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga mekanisme pemakzulan melalui
mekanisme hukum yang lebih adil. Proses pemakzulan tersebut telah ditegaskan
dalam Pasal 78B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa
proses itu dimulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan apabila memenuhi
sejumlah syarat kemudian diteruskan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
memutuskan hasil permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan terakhir sebagai institusi yang paling menentukan adalah di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sejalan
dengan adanya ketentuan baru dalam pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden,
sekarang ini muncul permasalahan adanya wacana pemakzulan Wakil Presiden Budiono.
Wacana pemakzulan Wakil Presiden Boediono, dikarenakan Wakil Presiden Boediono
tersangkut kasus Bank Century, pada saat menjabat sebagai Gubernur Bank
Indonesia. Pemakzulan Wakil Presiden Boediono menguat setelah Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) melalui Panitia Khusus (Pansus) hak angketnya dalam sidang
paripurna yang menyatakan bahwa Wakil Presiden Boediono terbukti telah
menyalahgunakan kewenangannya pada saat menjabat sebagai Gubernur Bank
Indonesia. Hasil rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut,
akhirnya banyak pendapat di masyarakat, bahwa Wakil Presiden Boediono dapat
dimakzulkan dan wacana pemakzulan Wakil Presiden Boediono sekarang ini terus
bergulir. Di samping itu, sebagian fraksi-faksi di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) menginginkan hasil dari Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
harus terus ditidaklanjuti hingga terjadinya pemakzulan terhadap Wakil Presiden
Boediono.
B.
Landasan Konstitusional Pemakzulan di
Indonesia
Dalam sistem ketatanegaraa Indonesia
yang merupakan proses dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
diatur dalam konstitusi, begitu juga ketentuan mengenai pemakzulan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam konstitusi yang merupakan suatu sistem
ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, penjelasan mengenai tata cara atau
prosedur dan alasan-alasan mengenai pemakzulan memang diatur dalam konstitusi.
Hal ini diatur dalam konstitusi karena pemakzulan adalah bagian yang terpenting
dan krusial dalam kelangsungan kehidupan bangsa menurut sistem ketatanegaraan
Indonesia. Sama halnya juga dengan negara-negara lain, masalah pemakzulan ini
diatur dalam suatu konstitusinya.
Secara historis sejak Indonesia merdeka
pada tanggal 17 Agustus 1945 telah beberapa kali terjadi penggunaan konstitusi[2]).
Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana sejarah sistem ketatanegaraan
Indonesia mengatur mengenai pemakzulan diuraikan satu persatu dalam sub bab di
bawah ini. Hal ini agar diketahui bagaimana tiap-tiap konstitusi yang pernah
berlaku di Indonesia mengatur tentang pemakzulan itu diatur. Di samping itu,
juga adanya uraian satu persatu konstitusi untuk membandingkannya antara suatu
konstitusi pada periode tertentu dengan periode atau pada masa yang lainnya.
Dalam sejarah Indonesia sejak
proklamasi kemerdekaan hingga dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945
pada tahun 1999 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), ada empat macam
konstitusi yang pernah diberlakukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949,
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 hasil
amandemen yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 berbeda dengan konstitusi sebelumnya. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang memuat ketentuan dalam pasalnya
secara eksplisit dan detail mengatur tentang pemakzulan Presiden dan Wakil
Presiden. Hal ini terlihat dengan jelas dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 7A tersebut menyatakan:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Pemakzulan ini merupakan bagian dari
sistem ketatanegaraan di Indonesia (Hukum Tata Negara), maka praktek pemakzulan
ini tidak terlepas dari aspek kepentingan politik karena pemakzulan adalah sebuah
proses politik. Hal ini meskipun suatu proses politik, tetapi perlu diatur
lebih jelas dan spesifik, maka diaturnya proses pemakzulan tersebut dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diharapkan ada
kepastian hukum dan jaminan kualitas demokrasi yang lebih baik dan tidak
bersifat anarkhis. Adanya aturan pemakzulan tersebut, tentu saja belajar dari
pengalaman pemakzulan terhadap dua Presiden (Soekarno dan K.H. Abdurrahman
Wahid) sebelumnya yang berakhir pada pemberhentian keduanya dari jabatan
Presiden.
Menyingkapi berbagai masalah yang ada
terutama penegakan hukum (law enforcement)
yang kemudian merupakan salah satu amanat reformasi untuk menciptakan kondisi
Indonesia yang lebih baik dengan hukum sebagai panglimanya. Istilah
negara hukum atau negara berdasarkan hukum dalam kepustakaan Indonesia hampir
selalu dipadankan dengan istilah “rechtstaat,
etat de droit, the staat according to law, legal
state dan rule of law. Di samping itu juga dikenal istilah the principle of socialist legality yang
lahir dari ideologinya kaum komunis”.[3])
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan
Indonesia, penegakan hukum masih belum menjadi permasalahan bangsa yang utama,
sebagai contoh proses pemakzulan terhadap dua Presiden, yaitu Presiden Soekarno
dan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Pemakzulan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
yang oleh sebagian kalangan dinilai cacat hukum dan lebih bernuansa politis.
Masalah ini telah memunculkan perdebatan ketatanegaraan dalam kaitannya dengan
pengaturan masalah pemakzulan, karena di dalam UUD 1945 tidak menyediakan
aturan yang jelas tentang pemakzulan. Selanjutnya dalam hal yang sama pernah
muncul pemakzulan terhadap Presiden Soekarno yang dimakzulkan oleh MPRS pada
tahun 1967.
Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari kesadaran hukum rakyat, maka “hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan seseorang (impersonal)”.[4]) Oleh karena itu, dalam negara hukum, hukum memegang peranan yang sangat penting dan berada di atas kekuasaan negara. Supomo menjelaskan: “… bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum pula bagi segala badan dan alat-alat perlengakapan negara”.[5]) “Negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat: antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik”.[6]) Kekuasaan tunduk pada hukum, hukum mengatur segala bentuk kekuasaan, sehingga kekuasaan tanpa hukum akan anarkis, inilah yang merupakan hubungan timbal balik antara hukum dengan kekuasaan. Oleh karena Negara Indonesia berdasarkan pada hukum, maka dalam hal penyelenggaraan pemerintahan juga harus berdasarkan hukum.
Berdasarkan pengalaman itulah, maka
perlunya dibuat aturan yang lebih jelas untuk mengatur jalannya proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pada saat ini sudah ada suatu
aturan yang mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden,
yang secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah diatur tentang mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu lembaga yang muncul dalam kaitannya
dengan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden adalah lembaga Mahkamah
Konstitusi sebagai suatu negara yang berdasarkan hukum. Menurut
Titik Triwulan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang
menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna
menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.[7])
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga
negara baru yang keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada saat itu, hakikatnya
berangkat dari pemahaman akan arti penting implementasi prinsip negara hukum.
Di dalam negara hukum, kekuasaan tersebut dituangkan di dalam hukum. Dalam
konsteks tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan mampu melakukan kontrol dari
segi hukum dalam praktek penyelenggaraan negara yang tidak menyimpang dari
hukum, khususnya konstitusi. Pada prinsipnya pembentukan Mahkamah Konstitusi
dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat dasar-dasar konstitusionalisme sebuah
undang-undang, maksudnya Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang
diberi kewenangan untuk menafsirkan sebuah konstitusi melalui undang-undang dan
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, Lahirnya
Mahkamah Konstitusi atas dasar pemikiran untuk menyempurnakan sistem check and balances antara pemegang
kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang coba dibangun oleh MPR
dengan melakukan amandemen UUD 1945.[8])
Di antara sekian kewenangan yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, maka salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang sangat penting adalah perannya dalam pemakzulan terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Makamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Merujuk Pasal 7B
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pelanggaran
sebagaimana dimaksud adalah dua hal, yaitu:
1. Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela.
2. Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Proses pemeriksaan, mengadili dan memutus pendapat DPR itu
paling lama Sembilan puluh hari setelah permintaan diterima Mahkamah Konstitusi.
Dilibatkannya peran Mahkamah Konstitusi
dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terlepas dari
pengalaman masa lalu dan merupakan konsekwensi logis dari perubahan sistem dan
bangunan ketatanegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu, keinginan
untuk memberikan pembatasan agar seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, tetapi juga memiliki landasan
dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Adanya Mahkamah
Konstitusi dalam proses pemakzulan yang didasari pada keinginan untuk mereduksi
subjektivitas politik dalam menilai sikap dan perbuatan seorang Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Melalui Mahkamah Konstitusi ini diharapkan proses
pemakzulan berikutnya betul-betul mendapatkan legitimasi hukum yang lebih kuat.
C. Keputusan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
Investigasi
yang dilakukan oleh fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan
pandangan yang berbeda, ada fraksi yang memberikan pandangan bahwa pemberian
dana talangan menyalahi aturan dan ada fraksi yang memberikan dana talangan ke
Bank Century sesuai aturan.
Hasil
investigasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan segala
dinamikanya, yang pada akhirnya hasil investigasi itu menghasilkan kesimpulan
dan rekomendasi Pansus yang menghasilkan tiga kesimpulan sebagai hasil temuan
yang disebut dengan opsi A, B, dan C. Rekomendasi sebagai hasil investigasi itu
menghasilkan tiga opsi, dan di antara tiga opsi itu dalam forum lobi akhirnya
disepakati dua opsi, yaitu opsi A dan opsi C. Dua opsi itu akhirnya dibawa ke
dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan
pandangan fraksi-fraksi, salah satu fraksi adalah fraksi Partai Golkar berkeras
opsi A dan C tidak dapat disatukan, sebab ada perbedaaan prinsip antara
keduanya”[9]).
Rapat Pimpinan DPR dengan sejumlah fraksi-fraksi menetapkan mekanisme
pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna, bahkan Wakil Ketua DPR RI Priyo
Budi Santoso menyatakan bahwa akan ada dua kali voting dalam rapat paripurna
yang direncanakan[10]).
Voting pertama adalah untuk menetapkan pilihan dari dua opsi, yaitu menetapkan
A dan C sebagai pilihan. Opsi kedua adalah menetapkan A, C dan kombinasi A dan
C sebagai pilihan. Kombinasi A dan C adalah opsi baru yang berkembang dalam
rapat Pimpinan DPR dengan sejumlah pimpinan fraksi. Menurut Priyo, opsi ini
akan diserahkan kepada Rapat Paripurna, untuk disepakati menjadi salah satu
pilihan atau tidak. Voting yang kedua adalah untuk memilih salah satu dari
pilihan yang disepakati dalam voting yang pertama[11]).
Munculnya
opsi AC dalam forum lobi yang dipimpin Ketua DPR Marzuki Alie dinilai liar.
Ketua Fraksi Hanura Akbar Faisal mengatakan Marzuki Alie melangkah lebih jauh
dengan menawarkan opsi AC dalam forum lobi. Pansus hanya menawarkan dua opsi A
dan C, tetapi Marzuki Alie menawarkan opsi gabungan menjadi opsi AC.
Penggabungan opsi tersebut menurut Akbar Faisal merupakan bentuk kurang
menghargai kerja pansus.
Sebelum
Sidang Paripurna dimulai, sejumlah fraksi di DPR menyatakan tidak akan mengubah
pandangan akhirnya terkait kasus Bank Century. Misalnya “fraksi Partai Golkar
menyatakan akan tetap bertahan dan konsisten menjadikan data dan fakta sebagai
instrumen, dan langkahnya hanya semata-mata upaya untuk mengakomodir harapan
masyarakat untuk segera menuntaskan kasus Century”[12]).
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh “fraksi PPP yang menyatakan bahwa
fraksinya akan konsisten dengan pilihan kesimpulan dan rekomendasi C”[13]).
Fraksi PKS juga memberikan pandangan yang sama mengenai hasil temuan
investigasi yang kemudian dirumuskan dalam hasil rekomendasinya. Fraksi PKS
memilih opsi yang menyatakan kebijakan dan pelaksanaan dalam penanganan Bank
Century Bermasalah[14]).
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyatakan tetap pada kesimpulan awal dan
akhirnya tentang kasus Bank Century. PDIP memastikan memilih voting terbuka
untuk memutuskan kesimpulan akhir, agar semua transparan dan terang bagi
rakyat. Voting terbuka akan membuktikan konsistensi seluruh fraksi terhadap
pandangan mereka masing-masing, karena untuk membuktikan konsistensinya, dan
PDIP pasti konsisten, PDIP menyatakan bahwa kebijakan dan pelaksanaan
penanganan kasus Bank Century bermasalah, sehingga sikap dan pandangan awal dan
akhirnya sama. Lebih lanjut ketua fraksi PDIP DPR Tjahjo Kumolo menyatakan
bahwa: “kemungkinan pemakzulan terkait skandal Bank Century sangat besar dan
sangat mungkin dilakukan, sebab Indonesia adalah negara hukum dan pemimpin
Negara yang melanggar hukum bisa saja mengalami pemakzulan, meskipun
fraksi-fraksi di DPR belum bicara ke arah pemakzulan tapi bagi PDIP bukan hal
yang mustahil dilakukan”[15]).
Sidang
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya memutuskan bahwa kebijakan
pemerintah mengucurkan dana talangan kepada Bank Century tidak tepat. Menurut
laporan Tempo Interaktif, “dalam pemungutan suara, sebanyak 325 anggota DPR
memilih opsi kedua atau C. Adapun opsi pertama, A dipilih oleh 212 anggota DPR.
Opsi C dipilih oleh anggota fraksi dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP,
Hanura dan Gerindra. Adapun opsi A dipilih Partai Demokrat, Partai Amanat
Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa”[16]),
yang menyatakan bahwa kebijakan dana talangan terhadap Bank Century dinilai
tepat. Fraksi PKS menyatakan bahwa apabila memang akhirnya terbukti kasus
Century melibatkan pejabat negara, berharap Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
mengambil langkah tegas, dan sekaligus sebagai penegasan komitmen Presiden
untuk pemberantasan korupsi”[17]).
Hasil Sidang Paripurna DPR yang menghasilkan opsi C mendapat dukungan dari
masyarakat terutama Petisi 28 yang menyatakan dukungannya terhadap anggota DPR
yang sudah mengembalikan citra parlemen, dan berharap Presiden SBY meminta maaf
terkait kasus pengucuran dana talangan terhadap Bank Century”[18]).
Partai
Demokrat, Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa yang memilih
opsi A, karena beranggapan bahwa “kebijakan Bank Indonesia menetapkan Century
sebagai bank gagal berdampak sistemik sesuai dengan Perpu No. 4/2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan dan bertujuan mencegah Indonesia mengalami
krisis ekonomi. Selain itu, disimpulkan juga bahwa tidak ada dana talangan yang
mengalir ke partai politik dan pasangan calon Presiden beserta wakilnya”[19]).
Sementara itu, anggota fraksi dari Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP,
Hanura dan Partai Gerindra memilih opsi C, karena menganggap “telah terjadi
berbagai penyimpangan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam pengucuran dana
Bank Century, sehingga diduga telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh
otoritas moneter dan fiskal yang bisa digolongkan sebagai dugaan tindak pidana
korupsi”[20]).
Hasil
Rapat Paripurna tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menghendaki agar kebijakan yang salah dan menjurus pada
adanya dugaan tindak pidana korupsi perlu terus dilakukan pengusutan sampai
permasalahan itu selesai. Hal ini sebagaimana dikemukakan sejumlah
fraksi-fraksi di DPR menyatakan tidak akan mengubah pandangan akhirnya terkait
kasus Bank Century. Langkah ini semata-mata upaya untuk mengakomodir harapan
masyarakat untuk segera menuntaskan kasus Century. Demikian juga yang
dikemukakan oleh Fraksi Partai Golkar menyatakan akan tetap bertahan.
"Kami konsisten menjadikan data dan fakta sebagai instrumen[21]).
Pendapat senada diungkapkan Sekretaris Fraksi PPP Romahurmuziy. Dia mengatakan
“fraksinya akan konsisten dengan pilihan kesimpulan dan rekomendasi C. PPP yang
memutuskan memilih opsi C yang menyatakan bahwa “kebijakan pemerintah
mengucurkan dana talangan ke Bank Century bermasalah” [22]).
Keputusan ini bertolak belakang dengan sebelumnya yang memilih adanya penetapan
opsi gabungan. Sikap PPP yang demikian dilatarbelakangi sebagai tanggung jawab
pada konstituen PPP, karena keberadaan PPP di DPR karena konstituen, dan tidak
khawatir jika sikapnya di paripurna berujung pada reshuffle kabinet. Hak untuk
melakukan reshuffle adalah hak prerogatif Presiden, PPP tidak akan
mempermasalahkan jika menteri-menterinya direshuffle.
Perjalanan
Sidang Paripurna DPR dengan segala dinamikanya yang hasilnya mayoritas anggota
DPR memilih opsi C dalam proses voting tahap kedua Rapat Paripurna DPR yang
membahas penetapan kesimpulan laporan Panitia Angket DPR tentang Pengusutan
Kasus Bank Century. Opsi C yang menyatakan proses bailout Bank Century
bermasalah dipilih oleh 325 anggota dari 537 anggota yang hadir, sedangkan opsi
A yang menyatakan proses prosedur bailout tidak bermasalah dipilih oleh 212
anggota DPR. Dengan hasil voting, berarti sebagian besar anggota DPR menyatakan
kebijakan bailout (dana talangan dari uang negara senilai Rp 6,7 triliun)
kepada Bank Century termasuk proses merger, dan akuisisi atas bank tersebut
terjadi sejumlah pelanggaran berindikasi tindak pidana korupsi, penyimpangan
kebijakan perbankan dan keuangan negara, pidana pencucian uang maupun tindak
pidana umum lainnya.
D. Sulitnya Pemakzulan Wakil Presiden Boediono
Pengalaman
pada saat pemakzulan atau pemberhentian Presiden Gus Dur dari jabatannya
melalui Sidang Istimewa MPR (SI MPR) yang hanya mengedepankan kekuatan politik,
bukan pada mekanisme hukum. Hal ini menunjukkan pada saat ini seorang Presiden
dapat dengan mudah diberhentikan atau dimakzulkan karena alasan tertentu yang tidak melalui mekanisme hukum
yang harus dilaluinya. Pemakzulan Presiden Gus Dur tersebut menunjukkan adanya
kekuatan politik di DPR dan MPR sehingga Presiden Gus Dur dapat diberhentikan
dari jabatannya. Oleh karena itu, sekarang ini pemakzulan Wakil Presiden
Boediono bukanlah yang mustahil terjadi. Hal ini apabila kekuatan politik di
DPR memungkinkan transaksi politik di antara fraksi-fraksi di DPR. Misalnya
fraksi yang mendukung opsi C melakukan deal-deal politik dengan fraksi
pendukung pemerintah, sehingga memungkinkan Wakil Presiden Boedino melalui
mekanisme yang telah ada dapat diberhentikan atau dimakzulkan.
Pengalaman
Presiden Gus Dur dapat dimakzulkan karena kekuatan dan kepentingan politik pada
saat itu, maka pemakzulan dalam konteks
pemerintahan saat ini akan menemui hambatan dan mungkin akan sulit dilakukan.
Hal ini karena pemakzulan tidak hanya melalui kekuatan dan kepentingan politik
saja, tetapi harus melalui proses hukum, sehingga memakzulkan Wakil Presiden
Boediono adalah hal yang sulit terlebih lagi untuk memakzulkan Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono. Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa untuk sekarang
ini memakzulkan Wakil Presiden Boedino bukan hal yang mudah. Memakzulkan Wakil
Presiden Boediono tidaklah semudah memakzulkan Presiden Soekarno dan Presiden
Abdurrahman Wahid. Pemakzulan kedua Presiden tersebut karena kekuatan politik
pada saat itu memungkinkan. Akan tetapi kekuatan politik pada saat ini yang ada
tidak mungkin memakzulkan Wakil Presiden Boediono, meskipun hasil Rapat
Paripurna DPR menyimpulkan bahwa Boediono salah dalam mengambil kebijakan
terhadap Bank Century. Di samping itu, proses hukum yang panjang dan sulit,
sehingga pemakzulan Wakil Presiden Boediono masih jauh dari kenyataan. Hal ini,
apabila melihat kenyataan proses politik yang ada seperti fraksi Demokrat yang
mempunyai anggota yang paling banyak akan menghadap proses pemakzulan yang
diwacanakan oleh fraksi-fraksi di DPR. Di samping itu, juga pernyataan pengamat
politik yang menyatakan bahwa pemakzulan Wakil Presiden Boediono tidak memiliki
dasar yang kuat, dan kerugian yang ditimbulkan akan lebih banyak dibandingkan
keuntungan jika pemakzulan dilakukan. Misalnya Rizal Mallarangeng yang
mengatakan bahwa “tidak adanya dasar yang kuat untuk memakzulkan Presiden dan
Wakil Presiden, karena didukung oleh pernyataan hamper semua fraksi di DPR yang
mengaku tidak ada niat untuk memakzulkan Presiden dan Wakil Presiden. Terkait
pemakzulan Wapres Boediono karena ikut bertanggung jawab atas pengucuran
bailout Bank Century, maka hal itu tidak serta merta menjadi kesalahan Boediono
semata, karena informasi yang diberikan oleh Bank Indonesia ke Boediono
dinilainya memiliki kualitas yang kurang meyakinkan”[23]).
Selanjutnya
Partai Demokrat akan berjuang keras menutup semua pintu pemakzulan Wakil
Presiden Boediono apalagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat
akan meminta partai koalisi menjaga komitmen koalisi dan tidak terus
mewacanakan pemakzulan. Penegasan dari Partai Demokrat yang dikatakan oleh
salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang menyatakan bahwa:
“Partai Demokrat akan menutup semua peluang pemakzulan, meski hanya selubang
jarum, selain tidak ada alasan yang jelas, pemakzulan adalah sumber masalah
berkepanjangan, sehingga menghimbau partai koalisi pemerintah SBY-Boediono
untuk menaati kesepakatan yang sudah ditandatangani bersama, dan yakin partai koalisi
tidak akan menggerogoti pemerintah”.[24])
Selanjutnya Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan partai yang
mendukung opsi C, ternyata cenderung tidak bersikap terhadap wacana pemakzulan
terhdap Wakil Presiden Boediono dalam skandal Bank Century, melalui Ketua
Umumnya PPP belum waktunya memikirkan pemakzulan, sebab mekanisme dan ketentuan
tentang pemakzulan seorang pejabat tinggi negara telah diatur tersendiri”[25]).
Selanjutnya menurut Suryadharma Ali:
Partainya tidak ikut-ikut mendorong hak menyampaikan
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat, sudah cukup gonjang ganjing kasus Bank
Century selama ini. PPP tidak akan melanjutkan keputusan Pansus Century ke
ranah pernyataan pendapat, karena sudah cukup gonjang ganjing itu, dan tidak
perlu berlebihan, PPP memandang perlu memberikan kesempatan dan waktu pada
pemerintah untuk konsentrasi dan focus pada masalah-masalah yang lebih besar,
jangan semua energi ditumpahkan untuk Century.[26])
Wacana
pemakzulan Wakil Presiden Boediono oleh banyak kalangan dinilai sangat sulit
dilakukan, sehingga tidak mudah melakukan pemakzulan terhadap Wakil Presiden
Boediono karena harus memenuhi beberapa persyaratan yang berliku. Akan tetapi,
menurut pengamat bahwa pemakzulan Wakil Presiden Boediono dapat dimungkinkan
apabila semua syarat yang ditetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah dipenuhi dengan baik. Dengan kata lain Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia memberikan ruang pemakzulan apabila syaratnya
memungkinkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Menurut
Ketua DPR Marzuki Ali yang juga salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat,
“menegaskan tidak mudah memakzulkan seorang Presiden dan Wakil Presiden karena
harus melalui proses yang panjang”.[27])
Pasal 7B UUD 1945, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR. Pemberhentian apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Hal ini diperkuat oleh pendapat Jimly Asshiddiqie, bahwa: “mekanisme
pemakzulan diatur dalam konstitusi agar forum politik DPR tidak bisa serta
merta menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana Presiden tidak
bisa membubarkan DPR, DPR juga tidak bisa menjatuhkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden kecuali Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum”[28]).
Akan tetapi sampai tulisan dibuat Wakil Presiden Boediono belum terbukti
melakukan pelanggaran hukum, sebab Komisi Pemberantasan Korupsi juga yang
melakukan penyidikan belum menemukan adanya unsur tindak pidana dalam kasus
Bank Century terhadap Wakil Presiden Boediono.
Proses
pemakzulan dilakukan dengan melalui usulan pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang dapat diajukan oleh DPR kepada MPR. Akan tetapi terlebih
dahulu diajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa,
mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum itu berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pengajuan
permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Setelah MK
memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR
paling lambat Sembilan puluh hari, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Selanjutnya masih ada proses lagi, yaitu Sidang Paripurna MPR atas usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengambil keputusan. Dalam
sidang MPR itu sendiri harus dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota
dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Jadi,
menurut Marzuki Ali, bahwa pemakzulan Wakil Presiden seperti itu begitu
panjangnya. Proses politik dan proses hukum harus dilaluinya. Selain itu
sulitnya pemakzulan Wakil Presiden Boediono, mengingat bahwa separoh anggota
DPR dari fraksi Demokrat, sehingga dari fraksi Demokrat saja sudah kuat,
apalagi ditambah dengan partai pendukung pemerintah atau partai koalisi.
Hal
senada juga dikemukakan oleh Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi, berpendapat,
bahwa:
Wakil Presiden Boediono tidak bisa langsung dimakzulkan,
meski akhirnya sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan
memilih opsi C, Boediono tetap saja tidak bisa langsung dilengserkan. Proses
yang harus dilalui hingga bisa memakzulkan Boediono masih panjang, kalau mau
dibawa ke Mahkamah Konstitusi, harus ada langkah politik baru untuk melakukan
pemakzulan. Langkah politik berikutnya tidak lain ialah hak menyatakan pendapat
parlemen dalam sidang paripurna yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Jika 2/3 hadiri setuju memakzulkan Boediono, barulah
perkara dimasukkan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi akan mengadili
dengan menggunakan data dari DPR, pertimbangan hukum dan bukti-bukti baru yang
didapat. Apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Boediono bersalah, keputusan
itu di bawah ke sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang harus pula
dihadiri ¾ anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang disetujui 2/3
hadiri sidang tersebut.[29])
Selanjutnya
Mahfud MD menambahkan bahwa: “walau keputusan pengucuran dana talangan untuk
Bank Century dilakukan saat Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia,
pemakzulan tetap bisa dilakukan, sebab kalau bicara kenyataan pejabat bisa saja
jatuh karena perbuatan pidana dalam jabatan sebelumnya”.[30])
Pernyataan yang sama dalam memakzulkan Wakil Presiden Boediono, yang begitu
sulitnya untuk dimakzulkan, yaitu yang dikemukakan oleh pengajar hukum
Universitas Gadjah Mada Edward OSH yang berpendapat: “Jangan dikira jika ada
indikasi pidana Boediono bisa dimakzulkan, karena Boediono melakukan itu
(pengucuran dana Century) sebagai Gubernur Bank Indonesia, bukan sebagai Wakil
Presiden, tempus dan locusnya berbeda, yang dimaksud dengan tempus dan locus
berbeda dengan posisi Boediono sekarang”.[31])
Pendapat tersebut dimaksudkan bahwa harus ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Boediono bersalah melakukan
tindak pidana, kemudian barulah Boediono harus turun dari jabatan Wakil
Presiden karena syarat menjadi Presiden ialah tidak pernah atau tidak sedang
menjalani pidana, dan apabila hal itu terjadi proses pengadilan akan memakan
waktu yang lama.
Wacana
pemakzulan yang terus diwacana karena kasus Bank Century akan sulit diwujudkan
apabila hal tersebut menyangkut kebijakan, apalagi dalam sistem ketatanegaraan
yang menganut sistem presidensial yang dianut di Indonesia hal itu sulit
dilakukan kecuali jika menyangkut penyelewenagan kekuasaan dan tindak pidana.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution menilai
“pemakzulan terhadap pemerintah terkait dengan aliran dana Bank Century tidak
mungkin dilakukan apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan
hal tersebut menyangkut kebijakan, jika memang dinilai terdapat indikasi
penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana, kasus Century lebih tepat dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi bukan oleh pansus DPR”[32]).
Hal senada juga dikatakan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang menjelaskan
“kebijakan murni pejabat tidak bisa dihukum, karena sifatnya berdasarkan
kewenangan pejabat saat itu. Namun pada prosesnya, bisa saja sebuah kebijakan
pejabat diajukan ke hukum jika ada kesalahan dan ada buktinya”[33]).
Dalam
perkembangan yang sama, untuk kesekian kalinya Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono kembali mengulangi sistem ketatanegaraan yang dianut Indonesia dalam
pemerintahannya. Dalam arahannya saat menghadiri Rapim TNI 2010 di Cilangkap,
Presiden SBY mengatakan, Indonesia bukan menganut sistem parlementer yang
mengakibatkan kabinet bisa berusia pendek disebabkan mosi tidak percaya yang
dikeluarkan parlemen. Presiden menegaskan pemerintahannya saat ini menganut
sistem presidensial[34]).
Kepala Negara menambahkan, tujuan dari kebijakan bailout Bank Century yang
dilakukan oleh Menteri Keuangan beserta jajaran dan Bank Indonesia untuk
mencegah terjadinya krisis ekonomi seperti terjadi tahun 1998. Presiden SBY
meminta pansus angket DPR untuk bekerja kontekstual dan lurus dalam menyelidiki
seluk beluk dibentuknya kebijakan. Presiden SBY juga kembali menegaskan
kebijakan yang diambil tidak bisa dipidanakan, sebab bila setiap kebijakan
dipidanakan tidak ada pejabat yang berani mengambil keputusan. Namun apabila
implementasi kebijakan itu ada hukum yang dilanggar barulah dapat diadili.
Hasil
rapat paripurna DPR yang memutuskan ada penyimpangan pada bailout Bank Century,
tetapi tidak serta merta menjadi posisi Wakil Presiden Boediono terancam, sebab
Presiden SBY masih bersikukuh untuk mempertahankan Boediono sebagai Wakilnya.
Apa yang diputuskan oleh DPR hanya sekadar keputusan politik, sebab apabila
menjadikan kasus Century diserahkan sepenuhnya ke proses hukum, maka diperlukan
pembuktian mendalam. Apabila hal ini tidak bisa dibuktikan, maka tidak dapat
dilakukan tindakan pemakzulan. Jadi, apabila masalah Century ini menjadikannya
sebagai sebuah keputusan hukum dari keputusan politik, maka perjalanannya akan
panjang dan banyak membutuhkan waktu. Dalam hal kemenangan opsi C dengan suara
325 anggota DPR, proses hukum untuk hal ini dilakukan oleh KPK, tetapi untuk
pemakzulan masih sangat mustahil. Hal ini juga dikemukakan oleh Mahfud MD,
bahwa proses pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono secara ilmiah dan
logis procedural sangat sulit untuk dilakukan”[35]),
sehingga pemakzulan itu tidak akan terjadi. Proses pemakzulan Wakil Presiden
apalagi Presiden saat ini harus menempuh tiga proses yang sangat sulit di DPR,
proses previligiatum di Mahkamah Konstitusi dan proses pemakzulan di MPR. Di
DPR, ada dua forum yang harus dilewati usul pemakzulan, yaitu hak menyatakan
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil PResiden tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Preside sehingga harus diberhentikan di saat masa
jabatannya.
Adanya
hak menyatakan pendapat merupakan proses selanjutnya, hak menyatakan pendapat
itu harus disampaikan dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 75
persen anggota DPR dan disetujui 75 persen yang hadir. Untuk saat ini
fraksi-fraksi partai politik yang ada di DPR kebanyakan adalah partai yang
mendukung pemerintah, sehingga sangat sulit untuk mengumpulkan anggota yang
berjumlah 2/3 anggota untuk mendukung hak menyatakan pendapat. Oleh karena itu,
Wakil Presiden Boediono secara politis maupun hukum tidak akan terancam
walaupun secara politis Wakil Presiden Boediono dipersalahkan. Selanjutnya
apabila hak menyatakan pendapat lolos, maka DPR masih harus menyelenggarakan
rapat paripurna pengambilan keputusan pemakzulan. Keputusan tersebut diambil
dalam Sidang Paripurna DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR dan
2/3 yang hadir harus setuju. DPR tidak akan mampu menghadirkan 2/3 anggota DPR,
kalau juga hadir tetapi 2/3 tersebut tidak akan menyetujuinya, sebab partai
pendukung pemerintah seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa dan
Partai Amanat Nasional akan solid sehingga tidak akan ada keputusan pemakzulan.
Selanjutnya
pernyataan dari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pada saat Acara Rapat
Kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional di Istana Cipanas Cianjur
menyatakan: “tidak ada celah hukum bagi pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden,
karena konstitusi sudah mengatur secara ketat”. Selanjutnya dengan “empat
prinsip dasar”, Patrialis Akbar menyatakan:
1. Prinsip
pertama, pada dasarnya dalam sistem presidensial, Presiden itu tidak bisa
dijatuhkan di tengah jalan, karena dia dipilih melalui pemilihan umum.
2. Prinsip
kedua, “fix term” lima tahun masa jabatan dijamin tidak boleh diganggu dengan
alasan politik, sama sekali tidak boleh dan hal itu merupakan konsekwensi
sistem presidensial.
3. Prinsip
ketiga, Presiden adalah lambang negara, bahkan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), Presiden lambang negara kesatuan, jadi tidak hanya sebagai
kepala pemerintahan, tapi lambang negara, sehingga tidak mudah bahkan sulit
dalam konstitusi menjadikan Presiden dan Wakil Presiden.
4. Prinsip
keempat, dalam Negara Indonesia, hukum sebagai primadona dan hukum bisa
membatalkan putusan demokrasi, apabila putusan demokrasinya bertentangan dengan
konstitusi.
Pemakzulan Wakil Presiden yang tidak
hanya karena alasan atau mekanisme politik saja, tetapi juga harus melalui
mekanisme hukum. Mekanisme hukum sbagaimana dimaksud dalam Pasal 7B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melalui proses di
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sekarang membuat Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemakzulan Presiden dan
Wakil Presiden, sehingg di sini menambah sulitnya pemakzulan Wakil Presiden
Boediono. Jadi, Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tersebut dibuat untuk
menghindari politisasi yang terjadi di DPR, karena MK adalah peradilan khusus
yang menilai apakah Presiden dan Wakil Presiden itu bisa dijatuhkan atau tidak.
Mahkamah Konstitusi dapat menjatuhkan atau justru menyelamatkan Presiden atau
Wakil Presiden.
Sebenarnya
proses pemakzulan dapat saja dilakukan, tidak harus menunggu proses hukum
pidana selesai, karena pemakzulan adalah ranah hukum tata negara yang berbeda
dengan ranah hukum pidana yang mengadili dugaan penyalahgunaan wewenang dan
tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada Boediono. Hal ini apabila DPR
menghendaki dan memutuskan untuk mengusulkan pemakzulan ke Mahkamah Konstitusi
sebelum aparat penegak hukum membuktikan bersalah, Mahkamah Konstitusi dapat
menerima dan memutuskan apakah bersalah atau tidak. Vonisnya hanyalah salah
atau tidak, tanpa hukuman, atau vonisnya dijatuhkan kepada MPR dalam bentuk
pemakzulan. Demikian juga, apabila proses hukum membuktikan Boediono bersalah
namun DPR tidak mengusulkan pemakzulan, Mahkamah Konstitusi tetap tidak bisa
melakukan pemakzulan. Jadi, pemakzulan pada era reformasi ini dengan menganut
sistem ketatanegaraan yang berbeda, karena konstitusnya berbeda. Pada saat
Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan landasan konstitusinya adalah UUD 1945
yang memungkinkan seorang Presiden dapat dengan mudah dimakzulkan, sehingga
Presiden Abdurrahman Wahid jatuhnya murni karena masaah politik dan tidak
melalui proses hukum. Pemakzulan sekarang ini dengan Amandemen UUD 1945 (Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) pemakzulan lebih sulit, sehingga
sangat sulit untuk menjatuhkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, begitu juga
terhadap Wakil Presiden Boediono. Jadi, tahapan pemakzulan itu melalui proses
politik diteruskan yang kemudian dilanjutkan dengan proses hukum selanjutnya
proses politik kembali. Tahapan proses pemakzulan itu membutuhkan waktu yang
lama, proses politik membutuhkan waktu lama juga proses hukum membutuhkan waktu
yang cukup lama. Oleh karena itu, tidak bias dibandingkan antara pemakzulan
Presiden Abdurrahman Wahid dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan atau
Wakil Presiden Boediono.
E. Penutup
Permasalahan
yang berkaitan dengan kebijakan yang diambil oleh Boediono pada saat menjabat
Gubernur Bank Indonesia yang dianggap salah dalam Rapat Paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat, maka Wakil Presiden Boediono Wakil Presiden tidak dapat
dimakzulkan begitu saja, karena pemakzulan harus melalui mekanisme yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada
saat ini Wakil Presiden Boediono hanya dipersalahkan dalam proses politik tahap
pertama di Dewan Perwakilan Rakyat saja belum sampai pada tahap hukum maupun
tahap politik selanjutnya, yaitu di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dewan
Perwakilan Rakyat sampai saat ini belum ada kemauan yang sungguh-sungguh untuk
memakzulkan Wakil Presiden Boediono dari Jabatan Wakil Presiden. Hal ini
mengingat proses politik dalam ketatangeraan saat ini tidak menghendaki adanya
proses politik untuk memberhentikan pejabat publik. Sebagian besar partai
politik sekarang ini menghendaki agar proses pemerintahan harus berjalan sesuai
dengan mekanisme ketatanegaraan yaitu lima tahun sekali.
Daftar Pustaka
A. Buku dan Makalah
Achmad
Rustandi, “Peran dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 1
Februari 2006
Fakultas
Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan UI, “Indonesia Negara Hukum”, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945,
Jakarta: Seruling Masa, 1966.
Irfan
Fachruddin, Pengawasan Peradilan
Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004.
Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Marsillam
Simanjuntak, “Mahkamah Konstitusi Tentang Impeachment Presiden catatan Untuk
RUU Mahkamah Konstitusi”, Makalah
tanpa tahun dan tidak dipublikasikan.
Soepomo,
UUD RI, Noordhof, Jakarta.
Titik
Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, Jakarta: Cerdas Pustaka
Publisher, 2008.
Usep
Ranawijaya, Hukum Tata Negara
Dasar-dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
B. Internet
http://www.bataviase.com, diunduh tanggal
29 Desember 2009.
http://www.m.hariansib.com, diunduh 25
Januari 2010.
http://indosiar.com, diunduh tanggal
26 Januari 2010.
http://www.vivanews.com.
diunduh Jum’at, 29 Januari 2010.
http://www.metronews.com, diunduh 30
Januari 2010.
http://www.tempointeraktif.com, diunduh Minggu 31
Januari 2010.
http://www.jakartapress.com, diunduh Senin, 1
Februari 2010.
http://www.detiknews.com, diunduh Rabu, 3
Februari 2010.
http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Senin, 1
Maret 2010 .
http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Selasa,
2 Maret 2010.
http://www.tempointeraktif.com, diunduh, Rabu, 3
Maret 2010.
http://www.tempointeraktif.com, diunduh Kamis 4
Maret 2010.
file///d:pontianak.postonline_news.portalposisi.htm,
diunduh, 5 Maret 2010.
http://www.kompas.com, diunduh Senin, 8
Maret 2010.
http://www.detik.com, diunduh 9 Maret
2010.
http://www.fajaronline, diunduh, Selasa,
9 Maret 2010.
http://www.inilah.com. diunduh, Rabu, 10
Maret 2010.
http://www.suaramedia.com diunduh Kamis, 11
Maret 2010.
http://www.suaramedia.com. diunduh Jum’at, 12
Maret 2010.
http://www.tempointeraktive.com diunduh tanggal 4 April 2010.
[1]) Marsillam Simanjuntak, “Mahkamah
Konstitusi Tentang Impeachment Presiden catatan Untuk RUU Mahkamah Konstitusi”,
Makalah tanpa tahun dan tidak
dipublikasikan.
[2]) Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia), hlm. 41.
[3]) Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap
Tindakan Peme-rintah, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 109.
[4]) Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Dasar-dasarnya,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 181.
[6]) Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan UI, “Indonesia Negara Hukum”, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, (Jakarta: Seruling Masa, 1966),
hlm. 150.
[7]) Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pascaamandemen UUD 1945, (Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008), hlm.
246.
[8]) Achmad Rustandi, “Peran dan
Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 1 Februari 2006, hlm. 9-10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar